TEMPO.CO, Jakarta - Bank Dunia memangkas proyeksi pertumbuhan global 2016 menjadi 2,4 persen dari prakiraan sebelumnya 2,9 persen pada Januari lalu, Kamis, 9 Juni 2016. Langkah ini diambil akibat melambatnya pertumbuhan di negara-negara maju, harga komoditas yang tetap rendah, lemahnya perdagangan global, dan arus modal yang berkurang.
Berdasarkan laporan Global Economic Prospects, negara berkembang dan negara berkembang pengekspor komoditas berupaya keras beradaptasi dengan jatuhnya harga minyak dan komoditas utama lain. Pertumbuhan di negara-negara tersebut tahun ini diproyeksikan 0,4 persen, jauh lebih rendah daripada proyeksi pada Januari sebesar 1,2 persen.
Presiden Kelompok Bank Dunia Jim Yong Kim dalam siaran persnya mengatakan pertumbuhan yang lambat ini kembali menegaskan pentingnya negara menerapkan kebijakan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. “Selain itu, memperbaiki kesejahteraan mereka yang hidup dalam kemiskinan ekstrem,” ucapnya.
Menurut Jim Yong Kim, pertumbuhan ekonomi merupakan motor utama pengurangan kemiskinan. Karena itu, Bank Dunia prihatin ketika pertumbuhan di negara-negara pengekspor komoditas berkurang akibat tekanan terhadap harga komoditas.
Negara berkembang yang mengimpor komoditas lebih tahan daripada negara pengekspor, meski keuntungan dari turunnya harga energi dan komoditas lain belum terlalu terasa. Pertumbuhan mereka, ujar dia, diproyeksikan sebesar 5,8 persen pada 2016, berkurang sedikit dari 5,9 persen pada 2015.
Di antara negara-negara berkembang yang besar, pertumbuhan Cina diperkirakan 6,7 persen pada 2016 setelah tahun lalu berada di posisi 6,9 persen. Ekspansi ekonomi India yang besar diperkirakan akan stabil di angka 7,6 persen.
Sementara Brasil dan Rusia diproyeksikan berada pada resesi yang lebih dalam dibanding prakiraan Januari. Afrika Selatan diperkirakan tumbuh 0,6 persen pada 2016; 0,8 persen lebih lambat dibanding proyeksi pada Januari.
Dalam situasi pertumbuhan yang melamban ini, ekonomi global menghadapi risiko-risiko lebih besar, seperti pelambatan lebih lanjut pada negara-negara berkembang, perubahan besar pada sentimen pasar finansial, stagnasi pada negara-negara maju, periode rendahnya harga komoditas yang lebih lama daripada perkiraan, risiko geopolitis berbagai negara, dan kekhawatiran terhadap efektivitas kebijakan moneter dalam mendorong pertumbuhan.
BAGUS PRASETIYO