TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan komposisi penerimaan negara dari sektor pajak dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2016 sangat bergantung pada keberhasilan penerapan pengampunan pajak (tax amnesty).
"Kalau seperti ini strateginya Pak Bambang (Menteri Keuangan), konyol. Kalau (DPR) tahu bahwa pemerintah sangat butuh sekali tax amnesty, DPR bisa di atas angin. Menurut saya, ini salah strategi dalam politik anggaran pemerintah," kata Enny saat dihubungi Tempo, Selasa, 7 Juni 2016.
Semestinya, menurut Enny, defisit anggaran menjadi perhatian bersama antara pemerintah dan DPR. "Karena program-program yang prioritas tidak bisa diutak-atik, anggaran-anggaran yang bersifat aspirasi dari DPR dipotong saja sehingga bargaining position pemerintah untuk tax amnesty tidak seperti sekarang," ujarnya.
Baca Juga: Diminta Susun 2 RAPBN-P 2016, Menkeu: Nanti Tinggal Diubah
Dalam RAPBN-P 2016, pemerintah memasukkan asumsi penerimaan dari tax amnesty. Asumsi itu dipatok sebesar Rp 165 triliun. Selain itu, pemerintah akan memperbesar porsi penyerapan dari pajak penghasilan non-migas serta penerimaan dari cukai tembakau.
Menurut Enny, banyak alokasi anggaran yang bisa dipotong. Anggaran infrastruktur, misalnya, bisa disisir. "Dengan penerimaan yang terbatas, yang dikejar anggaran infrastruktur jangka pendek dulu. Untuk anggaran infrastruktur jangka panjang, bisa dikejar dengan skema lain, tidak harus dengan APBN," ucapnya.
Berita Menarik: Perusahaan Italia Siap Investasi 20 Juta Dolar AS di Indonesia
Selain itu, Enny berujar, anggaran yang bersifat manajerial bisa dipotong, termasuk anggaran untuk perjalanan dinas. Yang penting, pemotongan itu tidak bersifat merata di setiap kementerian. "Ditetapkan dulu nomenklatur yang prioritas. Nomenklatur yang bukan prioritas bisa di-skip. Tapi itu harus terintegrasi dengan perencanaan Bappenas."
ANGELINA ANJAR SAWITRI