TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perhubungan Ignasius Jonan tidak mengizinkan kendaraan roda dua, termasuk ojek berbasis aplikasi online, digunakan sebagai angkutan umum. Jonan beralasan kendaraan roda dua rentan mengalami kecelakaan.
Jonan mengatakan jumlah kecelakaan lalu lintas yang memakan korban jiwa justru berasal dari kendaraan roda dua. “Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan kendaraan roda dua berapa? (Banyak) Karena itu, kami enggak akan mengizinkan itu dipakai,” katanya di kantor Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Rabu, 1 Juni 2016.
Pernyataan Jonan itu didukung Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Agung Budi Maryoto. Ia menjelaskan, berdasarkan hasil pendataan, 60 persen lebih dari total angka kecelakaan di Indonesia disebabkan oleh kendaraan bermotor roda dua, dengan korban sekitar 50 ribu jiwa. Padahal kendaraan umum yang beroperasi harus memprioritaskan keamanan dan keselamatan penumpang.
Jonan konsisten melarang transportasi online, seperti Grab dan Uber, beroperasi hingga semua persyaratan regulasi bisa dipenuhi. Menteri Jonan menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan jalan, semua kendaraan umum wajib melakukan uji kir. Jika tidak, perusahaan itu dianggap ilegal.
Selain itu, dia mengatakan setiap perusahaan wajib memiliki badan hukum. Perusahaan diberi keleluasaan membuat badan hukum melalui perseroan terbatas atau bahkan koperasi. Meski, sebenarnya, perusahaan Uber telah memiliki izin rental dan membayar pajak.
Menyikapi fenomena ojek berbasis aplikasi online, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan akan mencoba mengharmoniskan Undang-Undang Lalu Lintas. Luhut menganggap undang-undang tersebut, bila diaplikasikan untuk kondisi saat ini, masih kurang sempurna.
“Dalam undang-undang itu, kami juga enggak terbayang jika teknologi akan berkembang cepat. Tapi kita enggak perlu khawatir karena pemerintah akan memfasilitasi semua,” tuturnya.
DESTRIANITA KUSUMASTUTI