TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menantang pemerintah menyelidiki data Panama Papers yang memuat ribuan nama orang Indonesia yang diduga pengemplang pajak.
"Kalau pemerintah tidak menyelidiki, nanti seolah-olah Undang-Undang Tax Amnesty hanya untuk sekelompok orang," ucapnya saat diskusi di Jakarta Pusat pada Senin, 9 Mei 2016.
Prastowo mengatakan bocornya data Panama Papers menjadi momentum bagi pemerintah mengembalikan dana yang berada di luar negeri. Tapi kemudian dia mempertanyakan keberanian pemerintah membeberkan nama-nama pengemplang pajak tersebut.
Masalahnya, saat ini pemerintah juga tengah berusaha menggodok UU Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak. UU tersebut tidak relevan jika data Panama Papers tidak diukur. "Tax amnesty sebagai tujuan atau sebagai instrumen untuk komprehensi tax reform?" ujarnya.
Baca Juga: Panama Papers: Banyak Klien Asing Berdomisili di Indonesia
Menurut Prastowo, inilah titik keberanian seorang pemimpin untuk memutuskan. "Karena hal ini untuk menciptakan iklim investasi yang bagus ke depannya," tuturnya.
Prastowo mencontohkan tindakan yang dilakukan Italia dalam menerapkan pengampunan pajak. Pemerintah Italia mengirim intelijen ekonomi untuk mengukur target ekonomi agar jelas.
Termasuk Afrika Selatan yang memberi pengampunan dengan agenda politik agar tax amnesty berjalan sesuai dengan target yang diinginkan.
Sedangkan di Indonesia belum ada instrumen apa yang dilakukan pemerintah setelah UU itu diberlakukan, termasuk bagaimana upaya pemerintah menjamin agar dana tersebut terealisasi untuk membangun sektor riil di Indonesia.
Simak Juga: Ketimpangan Pendapatan, Sebab Utama Publikasi Panama Papers
"Ini pemerintah ibaratnya mau maju kena, mundur kena," tutur Prastowo. Jika tax amnesty tetap berjalan, pemerintah akan dihadapkan pada banyak persoalan. Namun, jika mundur, kredibilitas pemerintah akan diragukan. "Pemerintah harus memberi kepastian."
AVIT HIDAYAT