TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo secara berturut mengeluarkan paket kebijakan ekonomi. Tujuannya untuk melecut pertumbuhan ekonomi yang tengah dibayangi pelambatan ekonomi global. Ini gambarannya:
Situasi ekonomi global di sepanjang 2015 mengalami pelambatan. Harga komoditas andalan, seperti minyak mentah tertekan hampir 50 persen. Pada 2014 harga minyak mentah dunia yang dijual di pasaran rata-rata berada di level US$ 93 per barel. Memasuki 2015 harga minyak mentah terpangkas setengahnya dan bergerak tak jauh dari posisi US$ 30-40 per barel.
Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian yang waktu itu masih dipimpin oleh Sofyan Djalil sudah merasakan gelagat pelemahan ekonomi global akan merambat ke Indonesia. Pasalnya, Indonesia masih mengandalkan kinerja ekspor, terutama komoditas, sebagai salah satu indikator pertumbuhan ekonomi. Indikator lainnya ialah konsumsi masyarakat, investasi asing, dan serapan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).
Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kemenko Edy Putra Irawady menyatakan gelombang perlambatan ekonomi mulai terasa di kuartal II 2015. “April hingga Mei kami mengamati laju pertumbuhan ekonomi makin melambat,” kata dia saat ditemui di kantornya, Jakarta, Selasa, 26 April 2016. Indikatornya lainnya ialah makin melemahnya daya beli masyarakat.
Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2015 sebesar 4,71 persen. Capaian itu melambat bila dibandingkan dengan periode yang sama 2014 yang 5,14 persen. “Sementara konsumsi masyarakat ada di kisaran 20 persen. Kami melihat sudah ada kerawanan,” ucap Edy.
Dua indikator tersebut membuat Kemenko waspada. Tak berhenti sampai di situ, Edy bergeser mengamati angka investasi asing yang masuk mulai awal Januari 2015. Ia mengatakan ada kenaikan nilai investasi sepanjang awal 2015 bila dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya.
Data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan realisasi investasi, baik asing dan dalam negeri, pada triwulan I 2014 mencapai Rp 106,6 triliun. Sementara pada triwulan I 2015 naik menjadi Rp 124,6 triliun. “Ada peningkatan tapi tidak ada extensive margin,” kata Edy.
Ia menjelaskan investasi yang masuk tidak menyebar atau dengan kata lain tidak menciptakan industri baru. Itu artinya peluang menyerap tenaga kerja bisa dikatakan tidak ada. Menurut Edy, ada dua hal penyebabnya. Pertama ialah investor memilih menunda membangun industri.
Alasan kedua, industri yang dibangun bukan padat karya tapi berbasis teknologi. “Bisa juga investasi mereka adalah mencaplok industri lainnya. Kami khawatir,” kata dia.
Berbekal data-data tersebut, Menko Perekonomian Sofyan Djalil melapor ke Presiden Joko Widodo. Dari sinilah, lanjut Edy, konsepsi awal mengenai deregulasi melalui paket kebijakan ekonomi mulai bergulir.
ADITYA BUDIMAN