TEMPO.CO, Jakarta - Energy Watch Indonesia (EWI) mengkritik sejumlah kebijakan pemerintah terkait dengan Blok Masela, impor gas, dan kebutuhan gas nasional. "Saat neraca gas kita defisit, pemerintah malah ekspor gas ke Cina," ujar Direktur Eksekutif EWI Ferdinand Hutahaean dalam keterangan tertulis, Rabu, 20 April 2016.
Pemerintah dinilai tidak fokus mengelola gas untuk kebutuhan nasional. Pemerintah, ucap dia, tidak mengutamakan kebutuhan publik. "Ini adalah penyebab semua kekacauannya," tuturnya.
Ferdinand menjelaskan, saat ini produksi kilang liquefied natural gas (LNG) Donggi Senoro tidak terserap dengan baik. Bahkan jumlah kapasitas yang tak diserap negara mencapai lebih dari 15 kargo. Kabarnya ini terjadi karena harga ekonomi yang tidak kompetitif.
Parahnya, Pertamina justru memutuskan mengimpor LNG dari Amerika Serikat senilai US$ 13 miliar. Perusahaan pelat merah itu juga mengimpor LNG dari Australia dengan nilai yang hampir sama. Totalnya, Pertamina akan mengimpor LNG dari dua negara tersebut untuk 20 tahun ke depan.
Baca Juga: Blok Masela Jadi Onshore, Inpex Kurangi Pekerja?
"Ironi menyedihkan bagi bangsa kita di tengah kisruh Masela yang belum berujung di tengah ketidakjelasan progres eksploitasi Masela. Kita justru dihadapkan pada sebuah keputusan Pertamina impor gas (LNG) dari Amerika," katanya. Menurut dia, pemerintah dianggap berpikir sesat dengan tidak memikirkan dampak jangka panjangnya.
Ferdinand juga mempertanyakan keputusan pemerintah membangun Blok Masela di darat atau dengan skema onshore. Sampai saat ini, belum ada kepastian dari pengembang, Inpex, untuk mengkaji ulang plan of development (POD). Sebab, sebelumnya Inpex hanya memiliki kajian POD di atas laut atau offshore.
Sampai saat ini, ucap dia, masyarakat belum melihat kemajuan yang konkret. Justru Inpex membagikan formulir program pengurangan karyawannya di Indonesia. Padahal target pemerintah adalah pembangunan kilang di darat dapat menyerap sedikitnya 12 ribu pekerja baru di Blok Masela.
AVIT HIDAYAT