TEMPO.CO, Jakarta - Kebutuhan uang logam di Bali selama tiga tahun terakhir sangat tinggi. Berdasarkan catatan Bank Indonesia, kebutuhan uang logam mencapai 97,2 juta keping dengan nominal mencapai Rp 41,8 miliar atau naik 30 persen jika dibandingkan tahun 2014 yang mencapai Rp 32,1 miliar.
Menurut Kepala Perwakilan BI Provinsi Bali Dewi Setyowati, tidak ada aliran uang logam masuk dari perbankan ke Bank Indonesia. Hal ini terjadi karena rendahnya keengganan pelaku usaha, khususnya toko modern, membayar uang kembalian logam kepada konsumen.
Selain itu, masyarakat enggan menukarkan atau menyetor uang logam ke perbankan. Dari survei BI, hanya 38 persen menggunakan uang logam untuk transaksi, sedangkan 62 persen lainnya menyimpan dan mengumpulkan uangnya di tempat khusus, seperti celengan, laci, dan tempat tertentu. "Padahal uang logam itu juga sangat dibutuhkan masyarakat," ucap Dewi di Denpasar, Senin, 18 April 2016.
Toko modern lebih suka mengganti uang kembalian dalam bentuk permen. Untuk itu, Kantor Perwakilan BI Bali melarang toko modern dan retail memberi permen sebagai kembalian setelah transaksi dengan uang.
"Nanti akan kami surati karena itu (kembalian dengan permen) tidak boleh dan dilarang. Kasihan masyarakat juga," kata Dewi di Denpasar, Senin.
Biasanya pengembalian dengan permen tersebut dilakukan saat uang kembalian dalam bentuk pecahan kecil atau uang logam, seperti Rp 100, Rp 200, dan Rp 500. "Uang logam juga sangat dibutuhkan masyarakat," Dewi berujar.
ANTARA