TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menyarankan pemerintah tidak melakukan ekstensifikasi cukai pada produk-produk di sektor energi. Menurut dia, ketergantungan masyarakat terhadap produk-produk yang dihasilkan dari sektor energi, seperti bahan bakar minyak, masih sangat tinggi.
"Kalau salah, malah akan menurunkan daya saing," kata Enny di Grand Sahid Jaya Hotel, Jakarta Pusat, Selasa, 12 April 2016. Ia menyatakan seharusnya faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing tidak diganggu dulu sebelum pemerintah memperbaiki kelembagaan untuk menurunkan biaya ekonomi tinggi.
Penerimaan dari sektor cukai bagi minuman beralkohol, kata Enny, masih sangat kecil sehingga dapat terus digenjot. "Padahal minuman beralkohol harus dikendalikan. Kalau law enforcement bisa lebih tinggi, akan banyak multiplier effect yang positif," tuturnya.
Selain minuman beralkohol, Enny menilai, kendaraan bermotor perlu dikenai cukai. Penerimaan dari sektor ini, menurut dia, akan signifikan, terutama di kota-kota besar. "Tapi pemerintah harus menyediakan public transport yang memadai sehingga cukai ini efektif," tuturnya.
Pemerintah, menurut Enny, juga harus memetakan obyek-obyek yang bisa dikenai cukai. Namun optimalisasi penerimaan cukai dan pajak harus tetap memperhatikan para pelaku usaha agar tetap berinvestasi dalam iklim yang kondusif. "Pemerintah harus punya pemetaan mana-mana saja kebijakan ekstensifikasi cukai yang tidak menimbulkan distorsi," tuturnya.
Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016, pemerintah menargetkan penerimaan dari sektor pajak sebesar Rp 1.546 triliun atau 3,9 persen dibanding target penerimaan pajak pada 2015. Target itu dimaksudkan agar rasio pajak meningkat 13 persen.
Untuk meningkatkan rasio pajak sebesar 16 persen pada 2019, pemerintah berencana mengeluarkan kebijakan. Salah satu kebijakannya adalah ekstensifikasi cukai pada sejumlah produk, seperti minuman berkarbonasi, minuman berpemanis, dan kemasan plastik.
ANGELINA ANJAR SAWITRI