TEMPO.CO, Bandung - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Perkebunan (GPP) Jabar-Banten RHS Slamet Bangsadikusumah mengatakan, pengusaha perkebunan mengeluhkan kepastian pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan. “HGU itu pegangan, kepastian hukum bagi pengusaha perkebunan, kami merasakan terlalu lambat. Karena ada yang sampai 10 tahun, 18 tahun (mengurusnya) belum terbit sampai sekarang,” kata dia selepas bertemu Sekretaris Daerah Jawa Barat di Gedung Sate, Bandung, Kamis, 30 Maret 2016.
Slamet mengatakan, ketidakpastian waktu pengurusan HGU memicu okupansi liar areal perkebunan, dan ketidakpastian dalam usaha perkebunan. “Kepastian hukum itu sangat penting bagi pengusaha perkebunan, soalnya payback-period tanaman (perkebunan) itu kan lima tahun baru menghasilkan. Kalau kepastian hukumnya susah dipegang, pas setahun mengurus lalu tanahnya diambil orang? Padahal sudah investasi di sana,” kata dia.
Menurut Slamet, salah satu persyaratan yang dikeluhkan pengusaha perkebunan mengenai kondisi lahan yang “clear & clean” yang kerap sulit dipenuhi justru karena tidak adanyak kepastian waktu pengurusan HGU. “Clear & clean artinya di dalam tanah itu tidak ada permasalahan. Nah permasalahan itu muncul saat proses,” kata dia.
Saat perpanjangan HGU misalnya, pengusaha perkebunan diminta sudah mengurusnya sejak dua tahun sebelum masa pengelolaannya habis. “Ini bertahun-tahun gak selesai. Kita mau menanam kagok, ragu-ragu, jangan-jangan gak terbit. Akhirnya tanah itu seolah-olah menjadi tanah kosong, datanglah okupansi liar, nah gak clear & clean. Padahal ketentuannya penerbitan SK itu harus clear & clean. Ini yang berat,” kata Slamet.
Slamet mengklaim, persoalan serupa terjadi juga dalam permintaan izin baru HGU. Kasus terkatung-katungnya pengurusan HGU itu terjadi di sejumlah daerah diantaranya di Garut, Subang, Cianjur, dan Sukabumi.
Sekretaris Daerah Jawa Barat Iwa Karniwa mengatakan, masalah ketidakpastian waktu pengurusan HGU itu yang dikeluhkan pengusaha perkebunan dalam pertemuan itu. “Kepastian hukum di sini adalah proses perpanjangan, atau pengurusan HGU yang sangat lama sehingga di lapangan karena lama, berdampak pada kemungkinan terjadinya konflik,” kata dia, Kamis, 30 Maret 2016.
Iwa mengatakan, pengusaha perkebunan meminta agar BPN (Badan Pertanahan Nasional) memberikan kepastian waktu bagi pengurusan HGU. “Pemerintah provinsi akan menampung keluhan tersebut untuk diteruskan pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang,” kata dia.
Dia khawatir, berlarutnya masalah HGU ini bakal menghambat investasi di sektor perkebunan. “Investasi juga akan terhambat, kepastian hukumnya menjadi tidak jelas,” kata Iwa.
GPP Jabar-Banten merupakan asosiasi pengusaha perkebunan negeri dan swasta di Jawa Barat dan Banten. Slamet mengklaim, anggotanya tercatat 196 orang unit perkebunan di Jawa Barat dan 20 unit di Banten. Organisasi ini berdiri sejak jaman Belanda, bernama Algemene Landbouw Syndicaat (ALS), dan baru tahun 2004 berubah nama menjadi GPP Jawa Barat-Banten, sebelumnya Sindikat Perkebunan Jawa Barat.
Di Jawa Barat, dari 196 anggotanya mengelola 127.410 hektare lahan perkebunan, terdiri dari 54.764 perkebunan swasta dan 72.646 perkebunan pemerintah (PTPN). Terdiri dari perkebunan teh 20.916 hektare, karet 22.202 hektare, kakao 2.952 hektare, sawit 4.058 hektare, kopi 258 hektare, dan lain-lain 77.024 hektare. Sensus Pertanian 2013 mencatat jumlah rumah tangga usaha pertanian subsektor perkebunan Jawa Barat sebanyak 782.936 rumah tangga.
AHMAD FIKRI