TEMPO.CO, Lamongan - Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Lamongan menolak impor 20 ribu ton garam Australia oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Sebab, ketersediaan garam di Jawa Timur masih mencukupi. “Kita menolak,” ujar Wakil Ketua DPRD Lamongan Saim, Kamis, 24 Maret 2016.
Menurut Saim, kebutuhan garam di Jawa Timur selama ini dipasok dari Lamongan, Gresik, Sidoardjo, serta Pulau Madura. Selain itu, sejumlah daerah di pesisir selatan ikut memasok. "Jumlah produksi garam ini, jika dioptimalkan, pasti bisa mencukupi kebutuhan lokal. Tidak perlu impor," katanya.
Bila pemerintah Jawa Timur tetap mengimpor garam, para petani di daerah-daerah tersebut dirugikan. Kondisi itu bisa berdampak pada nasib petani garam pada beberapa tahun ke depan. “Yang dipikirkan seharusnya ke depannya, jangan hanya sekarang,” kata Saim.
Data pemerintah Lamongan menyebutkan produksi garam di kabupaten ini sebanyak 38.804 ton per tahun. Sedangkan lahan petani garam seluas 213 hektare berada di Kecamatan Pasiran dan Brondong. ”Produksi garam kami cukup besar,” ujar juru bicara Pemerintah Kabupaten Lamongan, Sugeng Widodo.
Sebelumnya, himpunan petani garam di Jawa Timur mendesak Gubernur Soekarwo tidak memberi izin bongkar kepada importir garam, PT Garindo Sejahtera Abadi. Garindo direncanakan membongkar 20 ribu ton garam impor asal Australia di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, pekan ini. Impor itu dituding menjadi penyebab anjloknya harga garam petani lokal.
"Mereka (Garindo) memainkan sisa kuota impor garam. Sedangkan kebutuhan industri garam tahun 2015 sudah tercukupi," ujar ketua Himpunan Masyarakat Petani Garam Muhammad Hassan kepada Tempo, Selasa, 22 Maret 2016.
Sebagian besar penyerapan garam rakyat oleh perusahaan di bawah Harga Pokok Pembelian (HPP). Rata-rata HPP untuk garam KW 2 berkisar Rp 250-300 per kilogram. Sedangkan untuk KW 1, rata-rata anjlok menjadi Rp 350 per kilogram. "Semestinya musim hujan begini harga garam naik, tapi justru hancur karena dampak importasi garam oleh para samurai."
SUJATMIKO