TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pengusaha properti menyambut baik wacana pemangkasan pajak penghasilan atau PPh final properti. Sebab, ini tidak saja berimbas terhadap sektor properti, tapi juga berefek berantai bagi sektor-sektor lainnya.
Ketua DPP Real Estate Indonesia (REI) Eddy Hussy mengatakan sejauh ini sudah banyak hal baik dari terobosan pemerintah dalam upaya peningkatan kemudahan berusaha. Dia menilai, dengan adanya pemangkasan PPh final properti, semakin besar potensi bagi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. “Dengan penurunan itu, tentu akan memberi angin segar bagi dunia usaha dan konsumen. Penjualan properti akan lebih baik karena akan lebih terjangkau bagi masyarakat,” katanya melalui sambungan telepon, dikutip Kamis, 24 Maret 2016.
Industri properti Tanah Air sepanjang tahun lalu cukup tertekan akibat gejolak perekonomian global dan nasional. REI mencatat pertumbuhan penjualan melambat, hanya sekitar 7 persen. Dengan dukungan upaya pemulihan ekonomi pemerintah, REI memperkirakan tahun ini dapat bertumbuh moderat di kisaran 10 hingga 12 persen.
Menurut Eddy, setiap upaya yang dilakukan untuk meningkatkan geliat industri properti akan sangat besar artinya bagi perekonomian nasional. Pasalnya, industri properti ini erat terkait dengan sekurang-kurangnya 174 jenis industri lainnya. Bila pemerintah merealisasi wacana pemangkasan tarif PPh final properti, potensi pendapatan negara relatif tidak terganggu. “Dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, pemerintah pun akan mendapat pendapatan yang lebih besar dari sisi lain,” katanya.
Wacana penurunan tarif PPh final properti disampaikan oleh Wahyu Utomo, staf ahli Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pembangunan Daerah. Tarif PPh final direncanakan turun dari 5 menjadi 2,5 persen.
Wahyu mengatakan rencana tersebut sudah didukung Kementerian Keuangan. Sebab, realisasi rencana tersebut diyakini akan meningkatkan kemudahan usaha di Indonesia. Presiden Joko Widodo menargetkan Indonesia dapat mencapai peringkat ke-40 dalam hal kemudahan usaha. Bank Dunia saat ini menempatkan Indonesia di posisi ke-109 dari 189 negara.
Investor properti Indonesia selama ini harus mengeluarkan setidaknya 10,8 persen dari total nilai transaksi yang menjadi bagian dari pendaftaran properti (registering property). Padahal di negara lain pengusaha hanya mengeluarkan kurang dari 5 persen.
Selain PPh, pemerintah mendorong adanya penurunan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) bagi pembeli properti. Saat ini, BPHTB masih sekitar 5 persen dari nilai properti dan termasuk yang tertinggi di dunia. BPHTB ini menjadi kewenangan pemda. “Kami sedang berusaha koordinasi dengan daerah kalau bisa diturunkan. Kalau pengalaman di negara-negara lain, itu sangat kecil, sekitar 1 hingga 3 persen,” kata Wahyu.
Dengan pemangkasan tersebut, menurut Wahyu, memang ada kemungkinan berkurangnya pendapatan asli daerah secara jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang, akan memberi multiplier effect dari masuknya investasi.