TEMPO.CO, Jakarta - Sungguh keterlaluan, hampir 2.000 perusahaan penanaman modal asing (PMA) di Indonesia mengemplang pajak selama sepuluh tahun dengan dalih perusahaannya merugi. Lebih mencengangkan lagi, negara mengalami kehilangan pendapatan pajak akibat perbuatan tersebut sekitar Rp 100 triliun.
"Jadi, dalam sepuluh tahun, kita kehilangan hampir Rp 100 triliun hanya dari 2.000, sebanyak 1.900 sekian PMA yang ternyata tidak komplain. Ini adalah juga bagian dari penggelapan pajak yang harus dibereskan," kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro seperti dikutip dari laman Sekretariat Kabinet hari ini, Rabu, 23 Maret 2016.
Menurut Bambang, berdasarkan pemeriksaan pajak, seharusnya PMA itu rata-rata membayar paling tidak sebesar Rp 72 miliar setahun. Namun ternyata pembayar pajak yang punya lebih dari satu sumber pendapatan itu jumlahnya hanya 5 juta wajib pajak (WP). Dari 5 juta WP itu, hanya 900 ribu yang benar-benar membayar dengan nilai cuma hampir Rp 9 triliun.
“Artinya, kembali lagi, ada unsur ketidakpatuhan juga di dalam pembayar pajak pribadi," ujar Bambang.
Dia menjelaskan, hal-hal itulah yang menjadi perhatian pemerintah. Tentunya diperlukan kerja sama antara Direktorat Jenderal Pajak dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan karena PPATK mempunyai data terkait dengan transaksi.
Sebelumnya, Bambang mengingatkan bahwa data tersebut semakin transparan sehingga memerlukan koordinasi mengenai data dan pemanfaatan teknologi informasi (TI). TI yang nanti akan dikembangkan, khususnya di Dirjen Pajak dan Bea Cukai, adalah integrated IT system—yang langsung menghubungkan semua data yang dibutuhkan dan bisa langsung dicek. Dia mencontohkan, transaksi di kepabeanan bisa langsung dilihat implikasinya terhadap pajak.
"Demikian juga nanti sistem itu bisa menangkap segala macam transaksi yang terjadi di negeri ini, terutama yang terkait dengan jual-beli," tutur Bambang.