TEMPO.CO, Bitung - Kapasitas produksi industri pengolahan ikan anjlok 80-85 persen sejak diberlakukan moratorium perizinan kapal eks asing dan pelarangan transhipment oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kebutuhan ikan untuk industri bahkan harus diimpor. "Sekarang tingkat produksi hanya sekitar 15-20 persen dari kapasitas terpasang," kata Ketua Asosiasi Kapal Perikanan Nasional Rudy Walukow, Jumat, 18 Maret 2016, di Bitung, Sulawesi Utara.
Rudy mengatakan itu di tengah-tengah mendampingi kunjungan kerja Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Bitung. Dalam kunjungannya, Kalla meninjau pabrik pengolahan ikan PT Delta Pasific Indotuna dan pelabuhan perikanan Bitung.
Menurut Rudy, pelarangan transhipment menjadi penyebab melorotnya kinerja industri pengolahan ikan di Bitung. Padahal, transhipment terkait dengan beroperasinya kapal angkut dan kapal tangkap. Kalau kapal angkut dilarang beroperasi, kapal tangkap juga tidak jalan. "Jadi kapal angkut itu dibutuhkan," kata Rudy. Dia mengatakan, ada 250 kapal angkut dan 71 kapal tangkap yang dimiliki perusahaan pengolahan ikan di Bitung. Pemberlakukan moratorium transhipmen membuat kapal-kapal tersebut tidak lagi beroperasi. "Semua kapal-kapal itu sekarang nongkrong," kata Rudy.
Wakil General Manager PT Delta Pasific Indotuna Cholid Alkatiri mengakui adanya kemorosotan produksi pasca pelarangan transhipment. Kapasitas produksi di pabriknya kini hanya 30 persen dari kapasitas terpasang karena pasokan ikan berkurang. "Sehari sekarang hanya tiga ton ikan yang diolah, itu pun kadang impor," kata Cholid.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberlakukan moratorium perizinan kapal eks asing dan pelarangan transhipment (alih muatan di tengah laut) sejak 2014. Itu dilakukan melalui penerbitan Peraturan Menteri Nomor 56 Tahun 2014 tentang moratorium dan Peraturan Menteri Nomor 57 Tahun 2014 tentang alih muatan. Tujuan penerbitan Permen ini adalah untuk pengawasan serta pengendalian praktek illegal fishing yang ditaksir merugikan negara hingga Rp 30 triliun per tahun.
Selain dua kebijakan itu, Menteri Susi juga mewajibkan pengukuran ulang untuk kapal-kapal nelayan. Pengukuran ulang ini dimaksudkan agar memverifikasi ukuran kapal sesuai dengan aslinya. Pengukuran ini juga untuk mendata ulang kapal-kapal nelayan sehingga bisa perbandingkan antara tonase dengan hasil tangkapan. Bila menolak, Kementerian mengancam tidak akan mengeluarkan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI).
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pengukuran ulang bobot kapal bagi nelayan oleh Syahbandar dan Kementerian Perhubungan seharusnya diberi waktu enam bulan. Ini dilakukan agar para nelayan tetap bisa melaut. "Jangan karena syahbandar dan Kementerian Perhubungan mengukurnya lama, mereka tidak produksi karena kapal mengangur," kata Kalla.
Kalla mengatakan Kementerian Kelautan dan Perikanan perlu menyinkronkan aturan yang benar sehingga bisa berjalan dengan benar. Jangan sampai karena ada penyesuaian-penyesuaian, justru membawa dampak jelek, misalnya terjadinya penurunan pendapatan negara dandaerah, serta menyebabkan pengangguran dan menaikan angka kemiskinan. "Ini perlu disegerakan penyelesaiannya," kata Kalla.
AMIRULLAH