TEMPO.CO, Jakarta - Harga cabai seringkali jatuh, terutama pada saat panen raya karena petani kurang sekali mendapatkan informasi prakiraan harga dan cuaca yang akurat.
Glenn Pardede, Managing Director PT East West Seed Indonesia (Ewindo), mengungkapkan untuk membantu petani cabai perlu adanya pemanfaatan sistem teknologi informasi yang memungkinkan petani untuk mengakses informasi mengenai prediksi harga, kondisi tanah, dan perkiraan cuaca secara akurat dan mudah.
"Harapannya melalui aplikasi itu petani dapat mengatur masa tanam dan panen cabai agar tidak dipermainkan pasar dan menderita kerugian," ujarnya, Senin (14 Maret 2016).
Menurutnya, dengan informasi tersebut petani setidaknya bisa mengatur panen atau dapat juga diselingi dengan tanaman lain agar tidak terjadi serentak.
Petani, kata Glenn, bisa menyelingi dengan tanaman sayur di luar cabai, seperti ketimun, tomat, dan tanaman hortikultura, sehingga tetap mendapatkan penghasilan. Sebaliknya, harga cabai tetap terkendali.
Dia menjelaskan, produksi cabai nasional belum merata sepanjang tahun. Pada bulan-bulan tertentu produksi cabai berada di bawah kebutuhan per bulan, misalnya bulan Juli. Hal itu terjadi ketika tanaman cabai kekurangan air.
Terkait dengan komoditas cabai, sambungnya, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menggelar Focus Group Discussion untuk menyusun roadmap pada Kamis (10 Maret 2016).
"Kegiatan itu untuk mendengar sejumlah persoalan agar nantinya dapat dibuat rekomendasi untuk diajukan sebagai suatu kebijakan," jelas Glenn.
Dia menambahkan, Kadin Indonesia bersama dengan pemerintah, petani, dan perusahaan benih nasional sedang menyusun roadmap guna mengendalikan harga cabai agar jangan sampai merugikan petani.
Glenn mengatakan cabai merupakan komoditas pangan dengan rantai perdagangan terpanjang di atas komoditas pangan beras. Untuk sampai di tangan konsumen, cabai merah harus melewati lima tingkatan mulai dari pedagang pengepul, distributor, agen, pedagang grosir, pengecer dan terakhir ke tangan konsumen.
Kendala bagi petani cabai, yakni terbatasnya benih cabai unggul berkualitas. Di sisi lain persoalan serangan hama dan penyakit semakin berat. Contoh, virus Gemini dan penyakit layu bakteri yang dapat mengakibatkan 100 persen gagal panen.
Glenn mengatakan penggunaan benih hibrida berkualitas terbukti mampu meningkatkan produktivitas petani cabai. Misalnya, produktivitas petani binaan Ewindo yang menggunakan benih unggul berkualitas dapat meningkat produksinya 100 persen-120 persen dibandingkan ketika menggunakan benih lain.
Untuk benih hibrida cabai, Ewindo telah menghasilkan 17 varietas benih cabai hibrida sejak tahun 1991 sampai dengan 2015 dari mulai cabai varietas Jatilaba hingga yang terbaru varietas LABA F1 dan masih diminati petani sampai saat ini.
Masing-masing varietas tersebut memiliki keunggulan di antaranya seperti buah yang seragam, tahan bakteri layu dan virus Gemini, tahan terhadap musim kemarau, dan dapat ditanam di dataran rendah.
Selain memproduksi benih, Ewindo juga berperan serta dalam membina petani di beberapa wilayah di Indonesia. "Saat ini, jumlah petani yang dibina secara intensif oleh petugas lapangan Ewindo berjumlah 1,5 juta petani," ujarnya.
Setiap tahun, petani binaan bertambah sebanyak 10.000 petani. Misalnya, di wilayah Sumatra, penambahan petani binaan sebanyak 3.000 petani. Di Pulau Jawa 5.000 petani, Kalimantan 1.000 petani. Adapun, di Pulau Sulawesi dan Pulau Papua masing -masing 1.000 petani.
BISNIS