TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Asosiasi Logistik Indonesia Zaldy Masita mengatakan dwelling time di Indonesia merupakan yang terlama dibanding negara ASEAN lain, seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Sebab, infrastruktur yang masih terbatas dan sulitnya akses ke pelabuhan menyebabkan dwelling time semakin lama.
"Belum lagi sistem yang belum terintegrasi sehingga proses masih harus face to face yang memungkinkan ada oknum yang bermain," kata Zaldy saat dihubungi Tempo, di Jakarta, Jumat, 11 Maret 2016.
Zaldy mengatakan waktu bongkar-muat di Indonesia mencapai 4-5 hari. Singapura dan Malaysia, kata dia, memiliki model pelabuhan sebagai pelabuhan transit yang memungkinkan satu hari bongkar-muat langsung keluar dari pelabuhan. Thailand dan Vietnam, kata dia, butuh waktu 2-3 hari dan di Malaysia 1-2 hari.
Pada tahap pre-clearance, Zaldy mengatakan, beberapa negara tersebut memiliki masalah importasi dokumen yang tidak serumit Indonesia. "Kalau di Indonesia sebenarnya fokus di jalur hijau jalur prioritas, tidak perlu ada dokumen impor," katanya.
Perusahaan di jalur prioritas, menurut Zaldy, sudah terdaftar di Bea-Cukai, yang memungkinkan barang impor di pelabuhan bisa segera dikeluarkan. Volume impor kedua jalur ini juga mencapai 70 persen dari impor volume. "Kalau masalahnya dokumen impor, tidak ada alasan juga karena jalur prioritas dan jalur hijau tidak perlu dokumen impor," ujarnya.
Namun permasalahan tidak hanya pada dokumen impor, tapi juga pada infrastruktur di Pelabuhan Tanjung Priok. Begitu juga akses pelabuhan yang terhambat karena macet. "Ini yang agak lambat, membuat sejak kontainer keluar dari kapal, akses masuknya juga macet. Barang siap keluar, tapi truknya telat masuk Priok," tuturnya.
ARKHELAUS W