TEMPO.CO, Jakarta - Penguatan nilai tukar diperkirakan bakal masih akan terjadi, kecuali ada kejadian luar biasa dalam waktu dekat. “Kecuali ada satu kejadian yang luar biasa, rupiah bisa naik (melemah) lagi,” ujar Ketua Indonesia Money Broker Association Melchias M. Mekeng di Bursa Efek Indonesia, Senin, 7 Maret 2016.
Pernyataan tersebut merespons penguatan kurs rupiah belakangan ini. Hari ini kurs tengah Bank Indonesia menunjukkan rupiah di level 13.159 per dolar Amerika Serikat.
Baca juga: Rupiah Masih Bertahan di Zona Hijau
Angka ini menguat dibanding pada akhir pekan lalu, ketika pada Jumat rupiah berada di kisaran 13.260 per dolar AS. Bila dibandingkan dengan asumsi makro dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016, yang mematok kurs rupiah di level 12.900 per dolar AS, nilai tukar saat ini sudah sangat menguat.
Keyakinan Mekeng tak lepas dari pengalaman nilai tukar rupiah pada 1997. Saat itu kurs rupiah mencapai 16 ribu per dolar AS, lalu menguat drastis ke level 6.800 berkat kebijakan Presiden Habibie.
Meski begitu, mantan anggota DPR ini berharap penguatan rupiah tak terlalu cepat terjadi. "Ekspor dan impor bisa jadi tidak kompetitif terhadap barang-barang di luar negeri jika penguatan terjadi terlalu cepat," tuturnya.
Baca juga: Rupiah Menguat, Darmin: Karena Perekonomian Membaik
Menurut Mekeng, penguatan kurs rupiah ke angka 12.500 per dolar AS bisa menjadi titik awal. Di angka tersebut, perusahaan dapat menyesuaikan biaya produksi mereka. "Mudah-mudahan, di angka itu, penjualan barangnya masih bisa kompetitif," ucapnya.
Lebih jauh, Mekeng menyatakan, tak perlu ada kebijakan moneter baru untuk menguatkan rupiah karena saat ini kondisi masih stabil dan belum mendesak. "Kalau pakai kebijakan, nanti jadi imun," ucapnya.
Mekeng mengatakan justru kebijakan negara tetangga Indonesia yang perlu dikhawatirkan. "Jangan sampai Cina mendevaluasi yuan. Itu lebih berbahaya.”
VINDRY FLORENTIN