TEMPO.CO, Denpasar - Direktorat Jenderal Pajak harus menunggu lebih lama untuk menjadi Badan Penerimaan Pajak. Sebab, revisi Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) hingga kini belum dibahas. Semula, transformasi ini direncanakan terjadi tahun 2017. Rencana tersebut dibuat dengan asumsi revisi UU KUP rampung tahun ini.
Molornya pembahasan revisi UU KUP membuat pembentukan badan yang akan berada langsung di bawah Presiden ini mundur setahun. Direktur Peraturan Perpajakan I Ditjen Pajak Irawan mengatakan paling lambat badan baru ini akan terbentuk 1 Januari 2018. “Nama lembaganya belum ada,” katanya di Denpasar, Bali, Kamis, 25 Februari 2016.
Selain bertransformasi, ada empat poin revisi UU KUP yang menjadi fokus Ditjen Pajak. Pertama, mengubah kata Wajib Pajak menjadi Pembayar Pajak. Penyebutan Wajib Pajak, kata Irawan, membuat masyarakat malas membayar pajak.
Kedua, Ditjen Pajak akan membangun sistem perpajakan yang mudah, murah, dan cepat dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi sebagai basisnya. Ketiga, membangun sistem pengenaan sanksi yang lebih rendah terhadap pembayar pajak yang melaksanakan kewajiban pajaknya secara sukarela.
Selanjutnya, membangun sistem pengawasan dan penegakan hukum perpajakan melalui pembentukan basis data dari pihak ketiga. Undang-undang lain akan menghapus kerahasiaan data perbankan demi kepentingan perpajakan.
Penghapusan kerahasiaan data ini, kata Irawan, sudah disepakati dan dibahas dengan Bank Indonesia. “Idealnya ini akan diatur dalam UU Perbankan dan diikuti oleh UU KUP,” katanya.
Rencana transformasi tersebut sudah dibahas bersama Presiden Joko Widodo saat Dirjen Pajak masih dijabat oleh Sigit Priadi Pramudito.
Tahun 2017 direncanakan menjadi tahun rekonsiliasi atau penguatan. Dengan menjadi badan sendiri, Ditjen Pajak akan lebih mudah dalam bersinergi dengan institusi lain dalam perolehan data. Salah satunya dengan Kementerian Agama untuk bertukar data peserta haji dan umrah.
Dengan menjadi badan yang terpisah dari Kementerian Keuangan, Ditjen Pajak akan memiliki kebebasan dalam beberapa wewenang. Pertama adalah dari sisi anggaran. Selama berada di bawah Kementerian, anggarannya menyatu. Sehingga jika ingin menaikkan anggaran Ditjen Pajak, harus menurunkan direktorat lain.
Ditjen Pajak juga akan lebih mudah menambah dan memecat pegawai. Saat ini, meski sudah disetujui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, masalah teknisnya akan dikembalikan ke Ditjen Pajak. Padahal Ditjen Pajak belum siap melaksanakan tahapan teknis tersebut.
Terakhir terkait dengan kelembagaan pajak. Salah satu penyebab rendahnya penerimaan pajak adalah daya jangkauannya yang masih lemah. Kantor Perwakilan Pajak terbanyak, kata dia, hanya ada di Jakarta. Dengan menjadi badan sendiri, Ditjen Pajak akan lebih mudah membangun cabang-cabang baru.
TRI ARTINING PUTRI