TEMPO.CO, Jakarta - Bank Indonesia selama dua bulan berturut-turut menurunkan suku bunga acuan negara 25 basis poin dari 7,5 persen menjadi tujuh persen. Namun, penurunan tersebut jauh dari imbauan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebesar lima persen.
"Berarti keputusan BI murni keputusan internal, tidak ada campur tangan lain," ujar Staff Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Ekonomi dan Pembiayaan Pembangunan, Bambang Prijambodo, Kemarin.
Menurut Bambang, BI memilih melihat perkembangan situasi perekonomian secara menyeluruh terlebih dahulu. Padahal menurut perhitungannya, saat ini setidaknya masih ada ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga 150 basis poin lagi.
Ruang penurunan, Bambang menjelaskan, datang dari komitmen pemerintah mengejar pertumbuhan lima persen dan inflasi yang terjaga 4-6 persen. "Gampangnya kurangi saja suku bunga acuan sekarang dengan ekspektasi pertumbuhan," kata dia.
Bambang yakin, BI akan menurunkan suku bunga acuannya secara bertahap dan hati-hati. Meskipun, belakangan ini nilai tukar Rupiah dan capital outflow cukup terkendali. "Sentimen dari Amerika memang agak terkendali, tapi Cina dan Jepang masih mengancam," katanya.
Setidaknya, ucap Bambang, pemerintah masih bisa memainkan instrumen fiskal seperti upaya menyerdahanakan regulasi dan insentif-insentif fiskal melalui paket kebijakan. Bambang mengatakan paket kebijakan berguna untuk meningkatkan kepercayaan investor terhadap upaya perbaikan sektor riil secara perlahan. "Kalau bunga turun pesat, tapi sektor riil yang tak sehat justru tak baik bagi sektor keuangan nantinya," katanya.
Bambang merujuk pada terus turunnya harga komoditas dan minyak dunia sepanjang tahun lalu karena minimnya permintaan akibat pelemahan sektor riil dunia. Bahkan, komoditas karet saat ini permintaannya sangat jeblok karena lesunya industri yang berhubungan dengan karet.
Turunnya suku bunga acuan biasanya diikuti dengan pelonggaran Giro Wajib Minimum. Kepala ekonom PT Bank Central Asia Tbk David Sumual mengatakan turunnya suku bunga dan GWM yang berlebihan dapat meningkatkan potensi kredit macet (non performing loan) sektor keuangan. "Memang baru terasa efeknya tiga atau empat tahun, karenanya peningkatan daya saing dan efisiensi sektor keuangan harus tetap dilakukan," katanya.
ANDI RUSLI | FAIZ NASHRILLAH