TEMPO.CO, Denpasar - The World Fair Trade Organization (WFTO) atau organisasi perdagangan berkeadilan dunia, Sabtu, 13 Faberuari 2016 meluncurkan label-label internasional untuk produk yang sudah berlisensi Fair Trade di Frankurt Jerman.
Produsen dan eksportis kerajinan Mitra Bali menjadi lembaga pertama dari Indonesia yang meraih label itu. “Kita cukup bangga karena dari 200 lembaga dari 70 negara yang diseleksi, Mitra Bali termasuk yang bisa lolos,” kata Komang Adhiarta, Product Development Mitra Bali saat syukuran peluncuran label itu.
Sebelumnya mereka telah melalui tahap seleksi dari pihak WFTO mulai dari proses self assessment, pengecekan di lapangan hingga auditor independen untuk masalah keuangan.
Adapun penilaian dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pihak Mitra Bali telah menerapkan 10 prinsip fair trade sepert prinsip ramah lingkungan, kesetaraan gender, pembayaran yang menguntungkan bagi pekerja, menolak pekerja anak, kesetaraan gender, transparansi dan lain-lain.
“Dengan label ini yang dipasang di setiap produk, konsumen akan lebih mudah untuk memilih barang-barang yang sudah dinyatakan fair trade,” jelas Adi.
Secara riil, label itu diharapkan akan memudahkan ekspor barang khususnya di negara-negara Eropa dimana dari hasil survei terlibat 8 dari 10 konsumen sudah peduli pada kategori produk yang fair trade dan non fair trade. Kesadaran terhadap masalah ini juga sudah tumbuh di konsumen Amerika Serika dan Jepang.
Mitra Bali yang bekerja sama dengan sekitar 500 perajin sudah menerapkan fair trade sejak tahun 1993. Eksport produk kerajinan mereka setiap tahunnya mencapai sekitar 200 ribu item barang dengan nilai sekitar Rp 4 milyar. Dengan adanya label itu, mereka berharap akan ada kenaikan pesanan barang hingga 25 % pada tahun 2016.
Salah-satu perajin Gusti Alit menyebut, mereka senang bekerja sama dengan Mitra Bali karena adanya transparansi dalam masalah keuangan. “Biaya pesanan juga dibayarkan separuh di muka sehingga bisa digunakan untuk membiayai proses produksi,” jelasnya.
Selain itu, ia yang menekuni kerajinan dari bahan alam mendapat konsultasi desain yang sesuai dengan situasi pasar. “Berbeda dengan art shop atau eksportir lain dimana kita pembayaran baru setelah ada pembayaran dari pembeli sehingga justru itu yang menalangi biaya produksi,” ujarnya.
ROFIQI HASAN