TEMPO.CO, Jakarta - Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatra Utara menolak keras pembukaan keran investasi asing bagi industri crumb rubber. Bagi Gapkindo Sumut, hal ini justru akan mematikan industri dalam negeri.
Sekretaris Gapkindo Sumut Edy Irwansyah menjelaskan, alasan utamanya adalah kapasitas tak terpakai pabrik crumb rubber yang sudah ada di Indonesia. Dia merinci, saat ini kapasitas industri crumb rubber indonesia melebihi 5,17 juta ton per tahun, sementara bahan baku yang tersedia 3,18 juta ton.
"Ada idle capacity lebih dari 40 persen. Pemerintah tahu persis, devisa terbesar kedua Indonesia setelah migas adalah karet. Penurunan devisa yang tajam terjadi bukan karena pengusaha tidak mampu meningkatkan kinerjanya. Industri crumb rubber ini sudah lesu 5 tahun belakangan karena fundamental kompleks. Selain minimnya bahan baku, ada lagi pengurangan permintaan dari Amerika Serikat, Tiongkok dan Jepang. Kemudian minyak dunia harganya turun," papar Edy, Jumat, 12 Februari 2016.
Edy menanggapi terbitnya Paket Kebijakan Ekonomi X yang diumumkan oleh Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution pada Kamis, 11 Februari 2016. Dalam kebijakan baru itu, pemerintah mengubah komposisi saham asing menjadi 100 persen untuk industri crumb rubber yang semula hanya 49 persen.
Edy menerangkan, pemerintah terburu-buru mengambi keputusan pembukaan investasi asing 100 persen bagi industri crumb rubber. Kedatangan investasi asing, menurutnya hanya akan menambah beban terhadap harga karet yang cenderung terus menurun. "Pemerintah seharusnya justru memberikan 'vitamin' bagi industri crumb rubber Indonesia. Industri dalam negeri itu tidak akan bisa bersaing dengan investasi asing yang bunga modal kerjanya 3 persen, sementara kita 13 persen. Bagaimana persaingan mau setara dan sehat?" ujarnya.
Kendati demikian, dia berharap pemerintah masih mau membangun industri crumb rubber domestik. Beberapa upaya yang bisa dilakukan yakni untuk jangka pendek melakukan moraturium penambahan dan kapasitas pabrik. Selain itu, bekerja sama dengan Thailand, Malaysia, dan Vietnam untuk menyeimbangkan pasokan dan permintaan. Untuk jangka panjang yakni hilirisasi.
"Apabila konsumsi dalam negeri masih di bawah 50 persen, maka harga karet masih bergantung pada pasar global. Pemerintah seharusnya mengundang PMA untuk industri hilir," kata Edy.