TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Farmasi (GP Farmasi), Darodjatun Sanusi, mengatakan asosiasinya sepakat dengan paket kebijakan kesepuluh yang diluncurkan pemerintah. "Dengan demikian, investor bisa lebih tertarik daripada dibatasi," kata dia, Kamis, 11 Februari 2016.
Darodjatun menjelaskan, investasi dalam bahan baku obat berisiko lebih tinggi daripada manufaktur. Sebab, kata dia, pemilihan teknologinya harus sesuai dengan tingkat teknologi baru. Sumber daya manusia yang ahli juga harus tersedia.
Menurut Darodjatun, GP Farmasi menyepakati kebijakan ini sejak awal. "Kami mendorong kalau bisa diberikan segera, supaya investor ikut," kata dia. Soal kemandirian dalam industri obat, Darodjatun mengatakan, bahan baku obat ingin sebagai substitusi impor. "Kami ingin nilai ekonomisnya bukan hanya untuk lokal, tapi juka ekspor."
Menurutnya, market lokal harus dipastikan juga dari hasil produksi bahan baku. Seperti, dipakai untuk jaminan kesehatan nasional (JKN).
Pemerintah meluncurkan paket kebijakan ekonomi X. Salah satu isinya, industri bahan baku obat terbuka 100 persen untuk penanaman modal asing.
Sebanyak 29 bidang usaha terbuka untuk asing dan dikeluarkan dari daftar negatif investasi (DNI). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan terbukanya bidang usaha bertujuan untuk memudahkan bisnis di bidang usaha itu.
Bidang usaha yang dibuka untuk asing itu adalah bidang usaha yang belum berkembang tapi diperlukan untuk kebutuhan nasional. "(Bidang usaha) kita anggap tidak terlalu berkembang investasi nasionalnya padahal perlu," kata Darmin di kantornya, Kamis 11 Februari 2016.
Ia mengilustrasikan industri bahan baku obat. Darmin mengatakan harga obat generik mulai turun karena di industri hulu bahan baku obat masih impor dan paten dilindungi. "Ya sudah, kita undang saja masuk," katanya.
REZKI ALVIONITASARI | ARKHELAUS W.