TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Pembiayaan Rumah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Maurin Sitorus mengatakan, substansi Rancangan Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat akan melibatkan pekerja baik sektor formal maupun nonformal. Pertimbangannya, perumahan membutuhkan liquiditas dan biaya yang besar.
"Supaya fungsi gotong-royongnya dapat berjalan dengan baik," kata Maurin di Hotel Santika, Kamis, 11 Februari 2016.
Maurin menerangkan, jika Tapera hanya melibatkan sektor kerja nonformal dalam menyelesaikan permasalahan perumahan tak akan efektif. Maka pemerintah mengharapkan partisipasi pekerja sektor formal dan nonformal agar bisa gotong-royong.
Menurut Maurin, untuk membentuk suatu lembaga untuk menyelesaikan masalah perumahan membutuhkan dana yang luar biasa besar. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar juga untuk membesarkan lembaga ini. Indonesia masih membutuhkan sekitar 15 juta rumah dengan kebutuhan tiap tahunnya 800-900 ribu unit.
Maurin mencontohkan, apabila harga standar Rp 100 juta-150 juta dikalikan kebutuhan rumah biayanya sangat besar. Menurut dia, itu menjadi tantangan tersendiri. Jika Tapera dibentuk sejak 20 tahun lalu, mungkin liquiditasnya sudah besar mencapai Rp 10 triliun.
Membandingkan dengan negara lain, Maurin melanjutkan, program Tapera di Indonesia relatif tertinggal dari Singapura yang dibentuk sejak 1950, Cina sejak 1990, dan Malaysia sejak 1990. "Selain mengatasi permasalahan rumah saat ini tetapi juga permasalahan yang akan datang. Generasi berikut akan terbantu," kata dia.
Saat ini pembahasan RUU Tapera masih berlangsung antara pemerintah dan Pantia Kerja RUU Tapera Dewan Perwakilan Rakyat. Maurin mengaku kedua belah pihak masih mencari solusi terbaik. Dia berharap Tapera dapat mencapai tujuannya, yaitu menyelesaikan dan membantu masyarakat dapat akses memiliki rumah. "Terutama untuk MBR atau Masyarakat Berpenghasilan Rendah," ujar Maurin.
LARISSA HUDA