TEMPO.CO, Jakarta - Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat ada empat investor asing yang berminat untuk menanamkan modal di industri bahan baku obat.
Kepala BKPM Franky Sibarani mengungkapkan keempat investor itu berasal dari India, Jepang, Korea Selatan dan China. Hanya saja, untuk investor asal Negeri Tirai Bambu menginginkan dibentuknya perusahaan patungan (joint venture/JV) dengan perusahaan asal Indonesia.
"Saya kira dengan dibukanya penanaman modal asing hingga 100% untuk industri ini, maka harapannya keempat investor itu semakin yakin untuk menanamkan modalnya di Indonesia," ujarnya seusai merilis Paket Kebijakan Jilid X di Kantor Presiden, Kamis (10 Februari 2016).
Dia menilai keempat investor itu memang menunggu agar sektor itu bisa dibuka ruang untuk penanaman modal asing (PMA). Franky menambahkan dengan dibukanya 100% untuk PMA di industri bahan baku obat maka bisa mendorong industri farmasi di dalam negeri yang selama ini bahan baku obatnya sebagian besar masih diimpor.
Namun, pihaknya belum bisa mengkalkulasi berapa potensi penurunan impor untuk bahan baku obat seiring dengan dibukanya 100% PMA. "Itu nanti tergantung seberapa besar realisasi investasi yang akan ditanamkan, baru kelihatan angkanya," ujarnya.
Kendati demikian, dia mengungkapkan jika Presiden Joko Widodo menginginkan agar harga obat di dalam negeri bisa turun. Oleh karena itu, dengan adanya industri bahan baku obat di tanah air maka bisa menekan harga obat di pasar domestik.
Sebelumnya, pelaku industri farmasi menyatakan bahwa upaya pemerintah untuk mengembangkan industri bahan baku obat mesti mempertimbangkan aspek komersialisasi, terlebih dengan pasar farmasi Indonesia yang masih kecil.
Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) Parulian Simanjuntak menjelaskan bahwa dengan kondisi pasar Indonesia seperti saat ini, efisiensi dari industri bahan baku akan sulit dicapai.
Menurutnya, kendati kepemilikan saham dibuka 100% bagi investor asing, tidak tercapainya kadar efisiensi tertentu akan membuat harga produksi tetap mahal. Untuk itu pemerintah harus berkomitmen penuh dengan memberikan insentif agar sektor swasta tertarik masuk di sektor tersebut.
"Selama ini kita sudah impor bahan baku obat dari India dan China. Artinya, industri dalam negeri harganya harus bisa bersaing. Jika ini sudah menjadi tujuan bersama, pemerintah harus membantu supaya ini bisa bersaing," ujarnya.
Dia mengatakan selain kecilnya pasar lokal, tantangan lain dalam pemasaran industri bahan baku obat ialah sulitnya bersaing di pasar ekspor akibat kuatnya daya saing produk India dan China. "Jadi faktor komersialnya memang harus dipertimbangkan, apa lagi untuk ekspor,”katanya.
Di sisi lain, Bisnis mencatat Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan Dettie Yuliati pernah mengungkapkan jika harga obat yang mahal disebabkan oleh ketergantungan bahan baku yang masih impor dari negara lain.
"Saat ini lebih dari 90% bahan baku obat masih diimpor. Ini sebabnya harganya masih relatif mahal," ujarnya.
Untuk menekan harga obat di pasaran, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah memproduksi bahan baku obat di negeri sendiri. Menurut Dettie hal ini bukan tidak mungkin mengingat industri farmasi termasuk dalam industri prioritas Indonesia pada 2015-2035.
"Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dilakukan upaya mengurangi ketergantungan impor BBO (Bahan Baku Obat) untuk mendukung tercapainya kemandirian obat di Indonesia," katanya.