TEMPO.CO, Jakarta - Serikat Pekerja PT PLN menolak rencana kebijakan pemecahan kelistrikan di enam provinsi Indonesia timur. Sesuai kebijakan tersebut, PLN tidak lagi mengurus listrik di beberapa daerah. Selain itu, pemerintah juga akan kembali memangkas kewenangan PLN dan menyerahkan wewenang tersebut kepada pihak swasta.
"Sangat jelas terlihat bahwa ini untuk mengakomodasi kepentingan segelintir golongan tertentu," kata Ketua Umum Serikat Pekerja PT PLN Deden Adhityadharma di kantor PLN Pusat, Kamis, 11 Februari 2016.
Serikat Pekerja PLN menolak alasan yang dikemukakan pemerintah, Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), dan Direktur Jenderal Ketenagalistrikan yang mengatakan kebijakan tersebut dibuat untuk memperkuat kelistrikan daerah. Padahal, kata Deden, PLN harus mampu mengelola kelistrikan dengan baik sesuai konstitusi sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang 1945 Pasal 33 ayat 2.
Deden menilai pengalihan pengelolaan listrik dari negara kepada swasta dianggap mengorbankan kepentingan bangsa dan negara. Imbas kebijakan ini, menurut Deden, perusahaan listrik milik negara diperlemah. Pemecahan PLN dinilai tidak menjangkau semua daerah dan pengelolaan di daerah tersebut akan diserahkan kepada pihak swasta yang memiliki kepentingan.
"Perusahaan diwacanakan hanya menjadi service company saja yang hanya fokus pada pengelolaan transmisi dan distribusi," kata Deden.
Langkah-langkah tersebut, kata Deden, tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2015 tentang kerja sama penyediaan tenaga listrik dan pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik.
Kebijakan tersebut juga tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2015 tentang aturan jaringan sistem tenaga listrik Sulawesi dan Permen ESDM Nomor 3 Tahun 2015 tentang prosedur pembelian tenaga listrik dan harga patokan pembelian tenaga listrik dari PLTU Mulut Tambang, PLTU batu bara, PLTG/PLTMG, dan PLTA oleh Perusahaan Listrik Negara melalui pemilihan langsung dan penunjukan langsung.
LARISSA HUDA