TEMPO.CO, Bangkalan-"Mas, kalau ada keluarga, saudara, tetangga atau teman mau beli salak, bilang tempat salak di Klobungan," kata Maryam, 60 tahun, pedagang salak di Klobungan, Selasa, 9 Februari 2016.
Klobungan adalah nama dusun di Desa Bilaporah, Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan. Letaknya sekitar 0,5 kilometer ke utara terminal bus Bangkalan di Jalan Soekarno Hatta.
Baca Juga:
Maryam mengucapkan pesan itu karena pasar salak lokal sedang sepi. Lebih banyak yang jual ketimbang yang beli. Sebagai pengepul, stok salaknya melimpah, harganya pun ikut murah. Disela-sela melayani pembeli, tangannya begitu cekatan memilah salak busuk dalam tumpukan kemudian dibuang. "Ini harganya Rp 20 ribu, biasanya Rp 50 ribu," katanya menunjuk setumpukan salak dalam bak cuci ukuran tanggung dihadapannya.
Tak ada tempat khusus bagi pedagang salak di Klobungan. Tumpukan salak dalam bak dijajar rapi di pinggir jalan. Saat pagi dan sore hari pertigaan Klobungan ramai oleh aktivitas jual beli salak yang mayoritas ibu-ibu rumah tangga. Mereka umumnya petani salak dari Bilaporah.
Transaksi dilakukan antara petani dengan pedagang atau pedagang dengan pedagang. Bila malam menjelang, salak pun diobral. "Yang penting laku, ketimbang busuk," kata Subaidah, salah satu pengepul salak asal Desa Jaddih.
Sisa salaknya yang tidak laku akan dibawa ke Pasar Labang, Kecamatan Labang. Dari pasar inilah, salak kebanyakan dijual ke Kota Surabaya. "Ya harus putar otak, biar tidak rugi," kata dia.
Menurut Subaidah, selama ini tidak ada perhatian dari Pemerintah Kabupaten Bangkalan terhadap petani salak. Petani harus mencari jalan sendiri untuk memasarkan salaknya. "Sebutannya saja Bangkalan Kota Salak, tapi tata niaga salak tidak ada," terang dia.
Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Bangkalan Abdul Razak mengatakan kendala untuk memajukan salak Bangkalan adalah terlalu banyak varian. Kata dia, ada 12 jenis salak. Rasa pun berbeda-beda tiap wilayah. Salak dari Jaddih dan Bilaporah terkenal asam dan sepet sehingga harganya murah.
Di Kota Bangkalan terkenal dengan salak penjalin. Salak ini rasa manis bercampur asam. Adapun di Desa Kramat, Kecamatan Kota dikenal dengan salak senase' dan salak kerbau. Senase' merupakan salak paling manis diantara salak lainnya. "Saya lebih mendorong salak Bangkalan ini dibuat olahan industri rumahan, seperti sirup salak, kurma salak, kismis salak juga keripik salak," kata dia.
Hal senada diungkapkan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Bangkalan Puguh Santoso. Pedagang salak, kata dia, harus jujur tentang rasa buahnya. Sebab ketidakjujuran akan mengurangi rasa percaya dari pembeli sehingga enggan membeli lagi. "Kadang tester salaknya manis, tapi pas dibeli salak bagian bawah asam," kata dia.
Menurut Puguh, jika pedagang salak mau jujur tentang kualitas salaknya, pihaknya siap membantu memasarkan dengan cara kemitraan dengan pasar swalayan. "Kita nanti akan minta pengelola pasar modern agar menyediakan stand khusus salak Bangkalan," ujar dia.
Penyuluh Pertanian Kecamatan Kota Bangkalan, M.K. Rohman mengatakan salak Bangkalan bisa dibagi dalam tiga jenis kegunaan. Pertama salak meja, khusus dijadikan hidangan tamu. Kedua salah sirup, khusus diolah menjadi minuman. Sedangkan ketiga salak snack yang bisa diolah menjadi keripik, kurma salak atau kismis salak. "Masalahnya, petani atau pun pejabat yang belum bisa membedakan masing-masing jenis salak," ucap dia.
Pengklasifikasian jenis salak ini, kata Rohman, akan memudahkan pemasaran salak Bangkalan yang begitu kaya varian. "Kalau salak asam langsung dijual saja ke pengolah salak, jadi yang beredar dipasaran salak yang manis saja," kata dia.
MUSTHOFA BISRI