TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Kemitraan Monica Tanuhandaru mengatakan green financing (pembiayaan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan) masih tidak populer di perbankan. Environmental assessment untuk pemberian kredit perbankan masih bersifat voluntary.
Monica mengatakan lembaga keuangan seperti Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan perlu mengatur agar penilaian lingkungan dalam pemberian kredit dijadikan mandatory. Untuk itu lembaga keuangan perlu mengatur mekanismenya.
Lembaga keuangan perlu mengatur stardarisasinya. Setelah ditetapkan statusnya sebagai mandatory, lembaga keuangan ini juga harus menentukan siapa yang akan mengawasinya.
Monica berujar, pemerintah juga perlu mendorong perbankan agar mau mendanai proyek-proyek yang mendukung penghematan energi. Untuk itu butuh kerja sama yang baik antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan lembaga otoritas keuangan, serta bank BUMN. "Green financing tidak populer karena tidak ada demand," kata Monica di Jakarta, Selasa, 2 Februari 2016.
Baca: Rini Soemarno: Bicara Kereta Cepat Kok Tanpa Data !
Mandeknya minat perbankan dalam membiayai green financing, menurut Monica terjadi karena terbatasnya demand. "Butuh kesadaran dari berbagai pihak untuk membangun permintaan akan produk ramah lingkungan." Salah satu caranya adalah dengan membangun pengetahuan publik agar membelanjakan uangnya untuk produk ramah lingkungan dan gerakan hijau.
Apabila permintaan sudah ada maka bisnis akan terbangun dengan sendirinya. Saat ini para pebisnis memang masih enggan untuk beralih ke bisnis hijau. Hal ini juga berlaku untuk sektor perbankan.
Saat ini green financing dari sektor perbankan hanya 0,47 persen dari total kredit bank yang besarnya Rp 3,306 triliun. Sementara, investasi green financing untuk mini hidro rata-rata kredit yang digelontorkan hanya Rp 259 juta per bank. Artinya masih sedikit bank yang berminat dalam green financing.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI