TEMPO.CO, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) membidik empat hal yang menjadi obyek pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) terhadap PT Freeport Indonesia. Menurut anggota IV BPK Rizal Djalil, salah satu yang ditelisik ialah pelaksanaan kontrak karya Freeport dengan pemerintah Indonesia. “Pelaksanaan kontrak karya dalam arti luas. Harus dilihat, apakah semua hal yang disepakati dalam kontrak karya ini dijalankan atau tidak,” kata Rizal kepada Antara, kemarin.
Aspek lain yang akan ditelisik BPK adalah kontribusi Freeport terhadap penerimaan negara. Rizal mengatakan akan memeriksa kepatuhan Freeport dalam membayar pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). BPK ingin melihat apakah negara sudah mendapat bagian semestinya seperti yang ditentukan dalam kontrak karya. “Ini sangat penting bagi pemerintah,” ujarnya.
Rizal mengatakan aspek ketiga yang akan diperiksa adalah realisasi komitmen Freeport dalam memulihkan dan melestarikan alam Papua. Hal tersebut, kata dia, sudah menjadi kewajiban Freeport sebagai investor yang telah mengeruk tembaga dan emas di kawasan Tembaga Pura, Papua.
Adapun aspek keempat adalah kewajiban divestasi saham Freeport. Saat ini pemerintah dan Freeport masih belum menemukan titik terang untuk nilai valuasi saham dengan porsi 10,64 persen, sebagai bagian dari kewajiban divestasi. Freeport, kata Rizal, harus membagikan 30 persen saham kepada pemerintah hingga 2019. Saat ini kepemilikan saham pemerintah baru 9,36 persen.
Menurut Rizal, meski Freeport bukan badan usaha milik negara, BPK bisa melakukan audit investigasi karena pemerintah memiliki saham di perusahaan itu. Rizal juga akan memeriksa kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dalam kontrak karya Freeport. BPK menargetkan audit itu rampung dalam dua bulan dan dapat menjadi rekomendasi untuk kebijakan pemerintah.
Baca Juga:
Rizal juga mengatakan audit ini bukan berasal dari permintaan Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut dia, pemeriksaan ini merupakan inisiatif BPK untuk memberikan bahan rekomendasi kepada pemerintah dalam mengambil kebijakan berkaitan dengan perpanjangan kontrak karya Freeport. “Ini inisiatif BPK, kami ingin membantu pemerintah,” ujarnya.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Bambang Gatot Ariyono mengatakan audit investigatif BPK berfokus pada kinerja Freeport tahun 2013-2015. “Tujuannya adalah mengetahui apakah kontrak sudah dilaksanakan,” kata Bambang, di kantornya, Rabu lalu. Namun pemeriksaan itu tidak akan menyentuh kewajiban pembayaran dividen. Sebab, kata Bambang, pembagian dividen adalah ranah korporasi, bukan ranah publik.
Ihwal perpanjangan izin ekspor konsentrat tembaga, hingga kemarin atau batas waktu perpanjangan izin, belum ada kesepakatan antara pemerintah dan Freeport. Agar izin tersebut diperpanjang, pemerintah meminta Freeport menyetor dana US$ 530 juta untuk membangun smelter. “Belum ada informasi apa pun dari Freeport mengenai kemampuan mereka membayar atau tidak. Jika perpanjangan izin ekspor tidak dikeluarkan, berarti pada 29 Januari mereka tidak dapat mengekspor lagi,” kata Direktur Pembinaan Pengusahaan Mineral Kementerian Energi Mohammad Hidayat, seperti dikutip dari Reuters.
Sebelumnya, manajemen Freeport menyatakan bakal menawar kewajiban setoran untuk smelter. “Kami akan berdiskusi dengan pemerintah untuk mendapat persetujuan,” ujar juru bicara Freeport, Eric Kinneberg, sebagaimana dikutip dari laman resmi Freeport McMoRan.
ROBBY IRFANY