TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Perhubungan Ignasius Jonan akan memastikan tidak ada jaminan pemerintah dalam megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Ketiadaan jaminan itu bakal dituangkan dalam klausul kontrak konsesi pengelolaan prasarana kereta cepat yang sedang dibahas antara Kementerian dan PT Kereta Cepat Indonesia Cina. “Kami mensyaratkan itu ada dalam konsesi," ujar Jonan di Kompleks Gedung DPR, Jakarta, Selasa, 26 Januari 2016.
Selain mengajukan syarat tersebut, kata Jonan, Kementerian mewajibkan perusahaan mengembalikan lokasi proyek dalam keadaan semula bila proyek mangkrak. Jonan tidak mau mangkraknya proyek monorail Jakarta terulang di megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung. "Jangan ditinggal begitu saja," ujar Jonan.
Kementerian dan PT KCIC sudah sepakat soal durasi konsesi. Kementerian akan memberikan hak konsesi pengelolaan prasarana selama 50 tahun sejak kereta cepat Jakarta-Bandung beroperasi. "Menurut studi KCIC, return of investment (ROI) proyek kan 40 tahun. Saya kasih konsesi 50 tahun, dan mereka sudah oke," ujar Jonan.
Direktur Utama KCIC Hanggoro Budi Wiryawan mengakui mereka telah sepakat soal durasi konsesi. Menurut Hanggoro, KCIC telah menghitung return of investment bisa dicapai dalam waktu 40 tahun setelah kereta cepat beroperasi. Kereta cepat ditargetkan sudah beroperasi mulai 2019. "ROI 40 tahun itu hitungan optimis," ujar Hanggoro pekan lalu.
Namun masa konsesi 50 tahun itu punya syarat tambahan lagi. Prasarana kereta cepat harus dalam kondisi bebas utang dan layak pakai ketika diserahkan. Sayangnya, Hanggoro belum merespons konfirmasi Tempo yang dilayangkan lewat telepon dan pesan pendek terkait dengan syarat-syarat konsesi yang diajukan Kementerian Perhubungan.
Biaya megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung mencapai US$ 5,585 miliar atau setara Rp 72,605 triliun dengan kurs Rp 13 ribu. Sebanyak 75 persennya atau US$ 4,1 miliar dari pinjaman pemerintah Cina ke KCIC bertenor 40 tahun dengan grace period 10 berbunga 2 persen. Konsorsium badan usaha milik negara—PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero)—menguasai 60 persen saham di KCIC sehingga mereka menanggung 60 persen utang atau US$ 2,5 miliar.
Saat mencanangkan megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung di Cikalong Wetan, Bandung Barat, pekan lalu, Presiden Joko Widodo menjamin tidak ada duit dan jaminan negara di megaproyek itu. Megaproyek tersebut murni kerja sama bisnis BUMN Indonesia dengan BUMN Cina. Jokowi juga telah berkali-kali menegaskan ketiadaan jaminan dalam megaproyek kereta cepat.
Namun Anggota Komisi Infrastruktur DPR dari Fraksi Gerindra Moh. Nizar Zahro sangsi dengan Jokowi. Menurut dia, negara pasti akan turun tangan bila terjadi sesuatu dengan BUMN. Aturan itu disebut tertuang dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara. "BUMN itu milik negara," ujar Nizar.
Utang swasta pun, kata Nizar, bisa menjadi tanggung jawab negara. Masih dalam Undang-Undang tentang Keuangan Negara, pemerintah bisa memberi pinjaman kepada swasta guna menyelamatkan perekonomian nasional atas persetujuan DPR. "Ingat krisis 1998. Utang swasta lebih banyak ketimbang utang pemerintah, tapi pemerintah bertanggung jawab juga sehingga ada Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)," kata Nizar.
Nizar mengklaim tidak menghalang-halangi pemerintah untuk membangun infrastruktur. Namun dia mengingatkan agar negara tidak dibebani utang tambahan yang tidak masuk kriteria mendesak.
KHAIRUL ANAM