TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi Faisal Basri menuding tarik-ulur dalam penentuan model pengembangan blok migas Masela, Maluku, diwarnai adu kepentingan.
Kubu Menteri Energi Sudirman Said dan Kepala SKK Migas Amin Sunaryadi ingin blok itu dikembangkan secara off shore, sementara Menteri Koordinator Maritim Rizal Ramli bersikeras pengembangan blok Masela lebih menguntungkan jika dilakukan di daratan atau on shore. Presiden Joko Widodo minta kedua opsi itu dikaji dan akan dipilih berdasarkan manfaat terbesar bagi masyarakat lokal.
Menyikapi tudingan Faisal Basri itu, Tenaga Ahli Bidang Energi di Kemenko Maritim dan Sumber Daya, Haposan Napitupulu, punya jawaban. Menurutnya, tidak ada persoalan kepentingan di Blok Masela. "Bagi hasil atau split Blok Masela adalah 60-40. Artinya 60 persen untuk pemerintah dan 40 persen untuk kontraktor setelah dikurangi cost recovery," kata Haposan, Senin 25 Januari 2016.
Karena itu, kata dia, penting untuk menekan biaya cost recovery yang akan ditanggung pemerintah. Haposan membantah jika pembangunan pipa untuk model on shore dinilai sebagai pemborosan dan proyek pipa gas terpanjang di Indonesia.
"Jalur pipa yang akan dibangun di skenario kilang LNG darat adalah dari Lapangan Abadi ke Pulau Selaru sepanjang 90 kilometer, ini bukan yang terpanjang di Indonesia," kata Haposan.
Dia lalu menyebut proyek pipa LNG North Bali ke Gresik, Jawa Timur sepanjang 370 km, juga pipa dari lapangan Kakap atau Natuna ke Singapura sepanjang 500 km. Ada juga pipa dari lapangan Koridor Jambi ke Singapura sepanjang 248 km. Ada juga pipa dari lapangan Kepodang ke PLTU Tambaklorok di Semarang sepanjang 100 km. Semuanya diklaim lebih panjang dibanding pipa LNG Blok Masela kelak.
Jenis pipa yang akan dipergunakan untuk transportasi gas di laut, kata Haposan, merupakan jenis pipa khusus yang dapat menahan tekanan kedalaman air sekian ribu meter.
"Sampai saat ini, jenis pipa dengan spek tersebut belum diproduksi di Indonesia, artinya harus impor," kata Haposan.
Meski harus impor pipa, Haposan menghitung biaya pembangunan kilang LNG Laut mencapai US$ 23 – 26 miliar. Ini masih lebih mahal ketimbang pembangunan kilang darat yang hanya memakan biaya US$ 16 miliar. Biaya itu sudah termasuk biaya pembangunan jalur pipa laut US$ 1,2 miliar.
"Sehingga, secara keekonomian skenario kilang LNG laut lebih mahal, yang akan berakibat tingginya cost recovery atau semakin berkurangnya pendapatan bagian negara," ujar Haposan.
LARISSA HUDA