TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Pengembangan Bursa Efek Indonesia Nicky Hogan mengatakan Bursa masih berharap saham PT Freeport Indonesia tidak hanya dimiliki badan usaha milik negara (BUMN), tapi juga publik melalui initial public offering (IPO) atau penawaran perdana saham kepada publik.
"Bursa dan OJK tentunya berharap saham Freeport tetap dapat IPO. Jangan hanya BUMN semua, masyarakat berhak kok membeli saham itu," katanya di Bursa Efek Indonesia, Jakarta Pusat, Senin, 25 Januari 2016.
Menurut Nicky, melalui IPO, ada keuntungan yang bisa diperoleh, di antaranya ada transparansi. Dengan demikian, masyarakat dapat memantau dan hal ini bisa memicu perusahaan agar lebih dapat meningkatkan kinerja.
Nicky tak menampik apabila ada kekhawatiran jika saham yang dilempar ke publik dapat memicu investor asing ikut membeli saham tersebut. Namun hal itu bisa diantisipasi dengan sistem lock. "Itu kan bisa di-lock. Kalau investor kita orientasinya habis beli, saham naik lalu dijual dan nanti dibeli asing, berarti prediksi investor kita yang terlalu pendek."
Jumat pekan lalu, Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno mengatakan Menteri BUMN telah mengirim surat kepada Menteri Keuangan serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.
Surat itu menyatakan BUMN berminat dan sanggup membeli saham divestasi Freeport sebesar 10,46 persen. Pemerintah mempunyai waktu 60 hari untuk menentukan apakah ingin mengambil saham divestasi atau tidak.
"Kalau untuk Ibu Menteri, harga masih mahal. Harus tanya ESDM. Kalau mereka memutuskan tidak dibeli pemerintah dan diberikan kepada BUMN, nanti kami yang tentukan. Soal pendanaan enggak terlalu jadi masalah. Artinya, setelah evaluasi, akan ditentukan pendanaannya," tuturnya.
Namun, kata Harry, tidak ada pembicaraan lanjut mengenai sebagian saham divestasi yang direncanakan pemerintah untuk IPO. "Kenapa harus di-go public-kan? Ya tapi mungkin saja kalau pemerintah memutuskan. Tapi aturannya tidak ada," ujarnya.
DESTRIANITA KUSUMASTUTI