TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia Joko Supriyono pesimistis bahwa harga minyak sawit mentah (CPO) di pasar global bakal kembali naik seperti sebelum krisis. “Saya rasa gak bakal naik. Paling gak, tetap di US$ 600 sampai US$ 700 per metrik ton,” ujarnya dalam acara Refleksi Industri Kelapa Sawit 2015 dan Prospek 2016 pada Rabu, 20 Januari 2016.
Harga rata-rata CPO pada 2015 hanya berkisar di angka US$ 614,2 per metrik ton atau turun 25 persen dari 2014. Pada 2014 harga rata-rata mencapai US$ 818,2 per metrik ton. "Jadi kita gak bisa berharap harga naik signifikan," tutur Joko.
Menurut Joko, jatuhnya harga CPO di pasar global tidak lepas dari pengaruh jatuhnya harga minyak mentah dunia. Pada tahun ini saja, harga minyak sempat mencapai US$ 30 per barel yang mempengaruhi harga komoditas lainnya.
Selain itu, dengan rencana masuknya kembali Iran ke pasar minyak dunia, perlu diwaspadai tekanan baru terhadap harga minyak dunia. Iran diperkirakan dapat menambah produksi minyak hingga 500 ribu barel per hari. "Sekarang harga US$ 30 bisa saja lebih tertekan," ujarnya.
Selain itu, karena saat ini produk CPO bersaing ketat dengan produk nonsawit di pasar internasional, khususnya komoditas yang memproduksi minyak nabati. Komoditas-komoditas itu, di antaranya minyak kedelai, minyak dari bunga matahari, dan rapeseed oil.
Ia menjelaskan, pada 2014 produksi minyak nabati mencapai 175,8 juta ton. Minyak tanah masih jadi komoditi penghasil terbanyak di antara semua penghasil minyak nabati dan minyak kelapa sawit yang diproduksi sebesar 66,6 juta ton.
Sementara itu, untuk minyak dari kedelai di pasar dunia jumlahnya mencapai 45,2 juta ton. Untuk minyak dari bunga matahari adalah 16 juta ton dan rapeseed oil 26,6 juta ton. "Kita ini memperebutkan kue yang sama," kata Joko. Menghadapi persaingan hal tersebut, menurut Joko, produsen komoditi minyak sawit justru harus mengantisipasi gempuran ini dengan bekerja sama dengan negara lain yang sama-sama memproduksi produk serupa.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI