TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia mencatat surplus neraca perdagangan sebesar US$ 7,5 miliar sepanjang 2015. Surplus ini merupakan yang tertinggi sejak 2011. Sebelumnya, sepanjang 2012-2014 neraca perdagangan Indonesia mengalami defisit.
Menteri Perdagangan Thomas Lembong tak sepenuhnya gembira melihat angka-angka itu. "Ini tidak sepenuhnya positif, karena kebanyakan disebabkan oleh impor yang kolaps bukan ekspor yang tumbuh," ujarnya pada wartawan di kantornya, Senin 18 Januari 2016.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, tahun lalu ekspor Indonesia turun 14,62 persen dari US$ 175,98 miliar menjadi US$ 150,25 miliar. Sementara impor merosot hingga 19,89 persen dari US$ 178,17 miliar ke US$ 142,73 miliar.
Bagaimanapun, tak ada yang perlu dikhawatirkan. "Kalau kita punya plus atau minus (neraca perdagangan) 1 persen dari total GDP (gross domestic product) itu masih oke. Saya tidak terlalu prihatin dengan neraca perdagangan secara umum," tuturnya.
Lembong memprediksi, kondisi ekonomi Indonesia akan membaik tahun ini. Penandanya adalah tren positif pada pertumbuhan ekonomi paruh akhir tahun lalu.
Jika prediksi itu benar, kata Lembong, maka Indonesia harus bersiap surplus perdagangan akan berkurang atau bahkan kembali defisit. Sebab, ekonomi yang bergerak karena didorong investasi kemungkinan akan membutuhkan lebih banyak impor bahan baku dan barang modal. "Begitu ekonomi kita menguat, surplus kita bisa berkurang. Tapi itu kan perkembangan yang menggembirakan."
Defisit neraca perdagangan pada November dan Desember 2015 lalu belum menunjukkan adanya perbaikan ekonomi nasional. Sebab, defisit itu terjadi pada akhir tahun itu lebih didorong oleh kenaikan konsumsi dan siklus produksi. "Ekspor impor bulan Desember pasti banyak pengaruh musiman, libur akhir tahun. Juga persiapan untuk tahun depan akan banyak mendatangkan stok untuk tahun berikutnya," Lembong berujar.
PINGIT ARIA