TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Persatuan Produser Film Indonesia Firman Bintang mengkritik penolakan investasi asing di bisnis bioskop dengan alasan melindungi bioskop kecil yang bertambah 100 layar dalam 3 tahun.
Firman menjelaskan, berdasarkan catatan PPFI dan pemantauan di lapangan, jumlah layar bioskop milik perusahaan non-jaringan–yang biasa disebut bioskop kecil atau independen--selama ini tak mengalami penambahan yang signifikan.
“Datanya tak lebih dari 50 layar,” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu, seperti dimuat Majalah Tempo edisi pekan ini dengan judul Tarik Ulur di Bisnis Layar.
Firman berpendapat, kalau perusahaan bioskop berjaringan terus menolak investasi asing, bagaimana dalam waktu 3 tahun ini bisa ada sampai 3.000 layar.
Seorang pejabat pemerintah menerangkan, tema bioskop independen kali ini menjadi manuver kelompok pengusaha yang tak sepakat soal penambahan jumlah bioskop. Isu ini digulirkan agar pembahasan kebijakan relaksasi bisnis film semakin molor.
“Strategi menjegalnya diubah. Pihak yang kontra bukan lagi mengangkat substansi DNI, tapi mengangkat perkara bioskop independen, yang bahkan selama ini tidak eksis bisnisnya,” kata pejabat tersebut.
Bisnis perfilman mempunyai tiga sektor, yakni produksi, distribusi, dan eksibisi. Pemerintah pun berencana membuka sekaligus keran investasi asing bagi ketiga sektor bisnis sinema ini.
Menurut Firman, cara ini merupakan solusi untuk menambah jumlah bioskop menjadi 4.000 layar pada 2019.
Penambahan 3.000-4.000 layar film sebelumnya diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo pada Maret tahun lalu. Saat ini jumlah layar bioskop di Indonesia tercatat sekitar 1.100 buah, yang mayoritas bisnis bioskop jaringan.
Menurut Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Ricky Pesik, jumlah ini sangat kecil untuk ukuran negara berpenduduk 250 juta jiwa. Ia membandingkan dengan Korea Selatan yang hanya berpenduduk 60 juta orang, tapi bioskopnya mencapai 15 ribu layar.
Ricky yakin, pertumbuhan layar bioskop memberi efek domino bagi perfilman nasional. Semakin banyak layar, semakin banyak pula film Indonesia bisa diproduksi dan ditayangkan, seperti dialami Indonesia pada 1970-1980-an. Ketika itu, jumlah layar mencapai 3.000 lebih dan film Indonesia berjaya. "Sebab, bioskop tersebar sampai ke daerah. Inilah yang hendak kami upayakan lagi.”
AYU PRIMA SANDI