TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Sjafruddin menolak keras rencana pemerintah membuka keran investasi dalam bisnis perfilman, termasuk bisnis layar lebar atau bioskop.
Djonny beralasan kebijakan membuka keran investasi asing tersebut bakal mengancam kelanjutan bioskop independen yang sudah ada. “Ini yang saya sampaikan di depan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mbok yang seperti ini dibantu, kenapa harus dari luar,” katanya, seperti dikutip dari berita “Tarik Ulur di Bisnis Layar” di Majalah Tempo edisi pekan ini.
Bioskop independen adalah bioskop yang tak terafiliasi dengan jaringan bisnis bioskop. Bioskop independen juga biasa disebut bioskop kecil karena memang secara bisnis tidak berkembang.
Djonny memastikan ada anggota GPBSI yang merupakan pengusaha bioskop nonjaringan. Tak semua pengusaha bioskop merupakan jaringan XXI. Jumlah bioskop nonjaringan mencapai 100 layar dengan wilayah sebaran di antaranya di Cilacap, Pekanbaru, Pekalongan, Pangkalpinang, dan Tegal.
Menurut Djonny, pemain bioskop independen ini harus dibela nasibnya karena sudah berani membangun bioskop di daerah. “Saya sampai berbulan-bulan meyakinkan mereka ini yang masuk kelompok usaha ekonomi UKM,” ujarnya.
Dalam waktu dekat ini, Djonny melanjutkan, targetnya malah ada bioskop baru yang akan berdiri di Banjarnegara. Dengan jumlah tiga layar, kata Djonny, pengusaha independen itu menggelontorkan dana Rp 2 miliar per layar.
Namun, berdasarkan data Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI), jumlah bioskop independen hanya 45 layar di seluruh Indonesia. Artinya, dengan total sekitar 1.100 layar bioskop yang ada di tanah air, persentase bioskop lokal nonjaringan tersebut hanya sekitar 4 persen.
Seorang pejabat pemerintah menerangkan, tema bioskop independen kali ini menjadi manuver kelompok pengusaha yang tak sepakat soal penambahan jumlah bioskop. Isu ini digulirkan agar pembahasan kebijakan relaksasi bisnis film semakin molor.
“Strategi menjegalnya diubah, pihak yang kontra bukan lagi mengangkat substansi DNI, melainkan mengangkat perkara bioskop independen yang bahkan selama ini tidak eksis bisnisnya,” kata pejabat tersebut.
Toh upaya untuk menjegal misi pemerintah agar bisnis film terbuka bagi investor luar negeri bisa digagalkan. Dalam rapat asosiasi-asosiasi perfilman di Kantor Menteri Darmin Nasution pada Rabu pekan lalu, Ketua PPFI Firman Bintang bisa meyakinkan bahwa pintu investasi untuk eksibisi, distribusi, dan produksi film perlu dibuka. “Saya jamin tidak ada bioskop mati, kecuali dimatikan dengan cara tidak disuplai film,” ujar Firman.
AYU PRIMA SANDI