TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) Djarot S. Wisnubroto menunggu penjabaran kebijakan nasional dari rencana umum energi nasional yang menyebut energi nuklir sebagai pilihan terakhir. Dia ingin memastikan kata “nuklir” masuk dalam kebijakan tersebut atau tidak.
Menurut Djarot, penolakan masyarakat menjadi salah satu penyebab hambatan proyek nuklir. "Karena ada kelompok-kelompok antinuklir, kan kami juga menghormati pendapat mereka," katanya di kompleks Istana Kepresidenan, Selasa, 12 Januari 2016.
Masyarakat sering mempertanyakan kesiapan dan standar keselamatan tinggi dari proyek nuklir. Kepada Presiden Joko Widodo, Djarot menyebutkan sisi lemah pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) adalah faktor psikologis yang membayangkan proyek tersebut berbahaya.
Selain lebih mahal tiga kali lipat dibanding investasi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pembangunan PLTN membutuhkan waktu panjang, yakni 7-10 tahun. "Karena itulah perlu peran dari pemerintah untuk ya atau tidak," ucapnya.
Di sisi lain, energi nuklir mempunyai daya lebih besar, yakni 1.000-1.500 megawatt, dan harga listrik lebih kompetitif. Berdasarkan studi potensi PLTN versi Batan, harga listriknya mencapai US$ 6-8 sen per kWh (kilowatt-jam) atau lebih murah ketimbang harga listrik dari pembangkit konvensional, yaitu US$ 11-12 sen per kWh. Selain itu, keuntungan lain energi nuklir adalah memiliki emisi karbon yang lebih rendah dan keberadaannya lebih stabil atau mampu hidup hingga 60 tahun.
"Bahkan sampai ada yang di Amerika 80 tahun, bandingkan dengan pembangkit energi listrik lain, lebih pendek 30 tahun, 40 tahun paling panjang," tuturnya.
Menurut dia, potensi nuklir Indonesia sebanyak 70 ribu ton per hektare yang berada dalam sebaran daerah tertentu, seperti di Kalimantan Barat, Bangka, Sulawesi Barat, dan Papua. Djarot menyayangkan besarnya potensi nuklir yang tidak terakomodasi karena belum ada regulasi tentang komersialisasi bahan bakar nuklir.
ALI HIDAYAT