TEMPO.CO, Yogyakarta - Yogyakarta – Sejumlah pelaku wisata maupun pemerintahan di Yogyakarta mengeluhkan minimnya wisatawan mancanegara yang berlibur ke lokasi-lokasi wisata di sana. Kebanyakan turis menjadikan Yogyakarta hanya sebagai tempat singgah dengan tujuan utama ke Candi Borobudur dan Prambanan.
Berdasarkan data Persatuan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yogyakarta, jumlah turis asing yang menginap selama 2015 hanya sekitar 250 ribu orang. Sedangkan sebanyak 3,3 juta orang adalah wisatawan domestik.
“Padahal Kementerian Pariwisata sudah menjanjikan ikut memasarkan event dan festival di Yogya,” kata dosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta Ike Janita Dewi dalam Focus Group Discussion tentang Grand Design Pariwisata DIY di ruang pertemuan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY, Jumat, 8 Januari 2016.
Ike pernah mengajukan lima event festival di DIY kepada kementerian. Kelima festival itu antara lain ArtJog, festival layang-layang, juga Jogja Fashion Week. Menurutnya, Yogyakarta membutuhkan asistensi dari pusat untuk menjadi Jogja Festival City. Sayangnya, menurut Ike, hingga saat ini usulan itu masih diabaikan.
Berdasarkan data Bappeda DIY, anggaran APBN untuk pariwisata Yogyakarta pada 2016 hanya senilai Rp 20 miliar. Sedangkan anggaran dana keistimewaan untuk pariwisata dari bidang kebudayaan senilai Rp 14 miliar. Dana sebesar itu dinilai tak cukup untuk membuat pariwisata di Yogyakarta lebih menarik.
Keluhan soal minimnya peran pemerintah pusat juga dikemukakan Kepala Bidang Pengembangan Produk Wisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gunung Kidul Harry Sukmono. Berdasarkan pendataan, kata dia, ada 772 goa di Gunung Kidul yang mempunyai potensi untuk menjadi lokasi wisata. Hanya saja, Kementerian Pariwisata mensyaratkan suatu lokasi bisa menjadi tempat wisata apabila ada bukti kepemilikan yang sah atas lokasi tersebut.
“Kalau goa, bagaimana bukti kepemilikannya?” tanya Harry.
Kepala Pusat Studi Pariwisata Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Djoko Wijono punya pendapat berbeda. Dia tak menyalahkan Jakarta melainkan menilai persoalan Yogyakarta terletak pada lemahnya perencanaan pembangunan pariwisata di DIY yang tidak konsisten untuk berbasis pada kultur. Dia mencontohkan, Kyoto di Jepang membutuhkan waktu 25 tahun untuk menerapkan pembangunan berbasis kultur. Hasilnya, dari semula jumlah wisatawan asing yang berkunjung ke sana sekitar 3-10 juta, kini telah mencapai 30 juta.
“Jadi enggak bisa seperti dagang. Esuk kulak, esuk untung,” kata Djoko.
Pembangunan pariwisata yang berbasis kultur, menurut Djoko mengedepankan pembagian porsi yang seimbang antara tradisi dan modernitas. Misalnya, saat menggelar festival tidak hanya menjadikan orang asing sebagai penonton, melainkan sebagai peserta.
PITO AGUSTIN RUDIANA