TEMPO.CO, Jakarta - Harga minyak jatuh ke US$ 32,62 per barel pada Kamis pagi, 7 Januari 2015, sebagai akibat dari meningkatnya cadangan energi AS dan melemahnya mata uang Cina. Minyak mentah Brent turun 4,7 persen, terendah dalam 11 tahun terakhir, sementara minyak mentah AS turun 3,9 persen di level terendah sejak 2008.
Brent pulih ke US$ 33,95, turun kurang dari 1 persen pada hari itu, sementara minyak mentah AS naik kembali ke US$ 33,42, turun 1,6 persen. Kelebihan pasokan membuat harga minyak mencapai 70 persen lebih rendah dari pada Juni 2014.
Sebagai hasilnya, perusahaan dan pemerintah yang sangat bergantung pada pendapatan minyak telah menderita. Ditambah lagi, penyusutan mata uang Yuan, membuat mata uang regional dan pasar saham jatuh.
Permintaan minyak mentah cenderung turun ketika dolar AS lebih kuat terhadap mata uang negara-negara pembelian, dan Cina tetap menjadi konsumen energi terbesar dunia. Pasar saham Cina dihentikan kurang dari setengah jam dalam perdagangan Kamis tersebut, setelah jatuh 7 persen dan memicu mekanisme sirkuit-melanggar baru untuk kedua kalinya dalam minggu ini.
Laporan mingguan Departemen Energi AS menunjukkan penurunan tajam persediaan minyak mentah AS komersial sebesar 5,1 juta barel menjadi 482,3 juta barel.
Data pemerintah juga menunjukkan kenaikan dalam produksi minyak mentah AS dari 17.000 barel per hari, membawanya ke 9.220.000 barel per hari. Ada juga kenaikan stok di pusat minyak di Oklahoma. Kelebihan pasokan global menunjukkan bahwa negara-negara kehabisan cadangan penyimpanan.
"AS, yang diperkirakan memiliki salah satu fasilitas penyimpanan terbesar di dunia, tidak memiliki tempat untuk menyimpannya," kata Paul Stevens, Profesor emeritus di University of Dundee dan spesialis Timur Tengah.
"Storage cukup banyak dan orang sudah berbicara tentang membeli kapal tanker sebagai penyimpanan terapung. Tapi kalau pasokan terus melebihi permintaan, maka satu-satunya hal yang dapat Anda lakukan adalah menjualnya, yang pasti mendorong harga turun."
BBC | ARKHELAUS