TEMPO.CO, Jakarta - Energy Watch sepakat dengan keputusan pemerintah yang menunda pemungutan dana ketahanan energi dari penjualan bahan bakar minyak. "Jadi memang sudah tepat keputusan penundaan itu untuk mendudukkan masalah pada kondisi yang tepat," kata Direktur Eksekutif Energy Watch Ferdinand Hutahaean lewat pesan pendek, Selasa, 5 Januari 2016.
Menurut dia, keputusan ini berarti memberi waktu semua pihak untuk duduk bersama membahas hal-hal terkait pelaksanaan dana ketahanan energi ini. "Semua harus jelas. Mekanismenya, dasar hukumnya, badan yang mengelola dana tersebut, dan pemanfaatan dana itu," ujar Ferdinand.
Ferdinand mengatakan konsep dana ketahanan energi ini harus dirapikan terlebih dulu sebelum diluncurkan ke publik. Hal yang paling utama juga adalah objek pungutan. "Apakah publik atau swasta korporasi yang bergerak di sektor ini? Saya sarankan harus dipungut dari perusahaan yang bergerak di sektor ini dan bukan dari publik."
Banyak perusahaan yang bergerak di bidang ini, terutama di sektor hulu energi. Misalnya, kontraktor kerja sama yang di sektor hulu energi. "Kenapa mereka yang harus jadi pilihan utama? Karena mereka yang menguras energi dari perut bumi kita," Ferdinand berujar.
Pemerintah menunda memungut dana ketahanan energi dari penjualan BBM. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan pemerintah menyadari bahwa isu ini masih menjadi perdebatan beberapa pihak. "(Ditunda) daripada diputuskan tapi jadi kontroversi," katanya di kantornya, Senin, 4 Januari 2015. Namun, menurut Darmin perlu ada dana ketahanan energi.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said saat mengumumkan harga baru BBM, Desember lalu, juga mengatakan dana ketahanan energi sebesar Rp 200 per liter Premium dan Rp 300 per liter Solar. Namun dalam rapat terbatas di Istana, 4 Januari 2016, disepakati dana ini ditunda dan akan dibahas lagi.
REZKI ALVIONITASARI