TEMPO.CO, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat pembangunan infrastruktur menempati posisi kedua sebagai penyebab konflik agraria di tahun 2015. Sebanyak 70 konflik atau 28 persen dari 252 kejadian terjadi di sektor infrastruktur.
Sektor infrastruktur berada di urutan kedua terbanyak setelah sektor perkebunan, yang mencapai 175 kasus konflik selama 2015. Meski demikian, untuk luasan area konflik agraria, sektor infrastruktur menempati nomor kelima.
Luasan konflik pembangunan infrastruktur pada 2015 sebesar 10.603 hektare. Untuk sektor perkebunan menempati urutan pertama karena luas konflik mencapai 302.525 hektare dari total konflik semua sektor 400.430 hektare.
Sekertaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Iwan Nurdin mengatakan konflik agraria sektor infrastruktur disebabkan oleh masalah penetapan lokasi yang dilakukan tidak transparan dan kesepakatan harga tanah. Masyarakat sering kali tidak mau wilayahnya masuk dalam penetapan lokasi pembangunan untuk kepentingan umum. "Kepentingan umum di Indonesia itu lebih banyak kepentingan bisnis atas nama kepentingan umum," katanya seusai mengisi acara diskusi di Warung Daun, Cikini, Selasa, 5 Januari 2016.
Dalam peraturan, pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum mempunyai persyaratan di antaranya infrastruktur tersebut digunakan lintas batas segmen sosial. "Meski izinnya untuk sekolah, pendidikan untuk orang elite tidak bisa masuk," kata Iwan.
Dia mencontohkan pembangunan jalan tol swasta tidak masuk kategori kepentingan umum karena mengejar laba. Selain jalan tol, perluasan bandara dan pembangunan pelabuhan sering menyebabkan konflik agraria.
Nurdin berujar selama ini usaha penyelesaian konflik agraria dilakukan berbagai kementerian dan lembaga. Namun sangat sedikit yang berhasil tuntas. Hal itu menyebabkan akumulasi konflik semakin meningkat mengingat penyelesaiannya sering berujung di meja pengadilan dan rampung dengan pendekatan formalistik.
Riau tercatat sebagai penyumbang konflik terbanyak, 36 kasus atau 14 persen. Setelah itu disusul Jawa Timur 34 kasus dan Sumatera Selatan 23 kasus. Riau kembali menjadi penyumbang terbesar konflik pada tahun ini akibat keputusan pejabat publik yang memberikan izin konsesi perusahaan. Sedangkan konflik Jawa Timur berkaitan dengan monopoli hutan Jawa atas Perhutani dan perluasan proyek infrastruktur, seperti jalan tol, waduk, dan perumahan.
ALI HIDAYAT