TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah menunda program pengelolaan Dana Ketahanan Energi. Program yang dihimpun dari nilai jual bahan bakar minyak (BBM) itu akan dijalankan kembali setelah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyempurnakan perangkat regulasi dan kelembagaan. "Baik berupa landasan hukum, persiapan kelembagaan, mekanisme penghimpunan maupun pemanfaatan," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said, Selasa, 5 Januari 2016.
Penundaan DKE diputus setelah Rapat Kabinet Terbatas menurunkan kembali harga jual BBM. Kebijakan yang berlaku sejak 5 Januari 2015 itu merupakan dampak dari penghapusan selisih nilai jual dan nilai ekonomis BBM yang semula dirancang untuk mendanai program DKE. Dengan itu, harga premium yang sebelumnya dijual Rp 7.300 turun menjadi Rp 7.150. Sedangkan solar turun sebesar Rp 300 dari Rp 6.800.
Baca: Harga BBM Kembali Turun
Sudirman mengakui rencana DKE menjadi sorotan publik setelah pemerintah menjalankan program peninjauan harga BBM per tiga bulan. Sejak itu, tak sedikit kritik dan saran yang dilayangkan anggota DPR, para pengamat energi, dan aktivis masyarakat sipil. "Saya mendapat kesan hampir seluruh pihak mendukung gagasan DKE, dengan syarat landasan hukum dan mekanisme pengelolaannya menjaga prinsip transparansi dan good governance," ujar Sudirman.
Menurut Sudirman, pengelolaan DKE merupakan strategi untuk mengelola cadangan simpanan minyak mentah yang digunakan untuk keadaan darurat (Strategic Petroleum Reserves). Meski demikian, gagasan yang berpedoman pada Undang-Undang tentang Energi dan Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional itu belum sepenuhnya memberikan payung hukum yang memadai.
Baca: Kisruh Pengelolaan dana DKE
Ketiadaan skema penanggulangan krisis energi itu membuat Indonesia jauh tertinggal dibanding negara lain. Myanmar, misalnya, negara yang cadangan minyaknya jauh di bawah Indonesia ini memiliki bantalan krisis untuk jangka waktu 4 bulan. Adapun Jepang mematok di angka 6 bulan dan Amerika Serikat 7 bulan. "UU juga memandatkan di 2025 bauran energi baru dan energi terbarukan mencapai 23 persen. Sementara saat ini baru 7 persen," kata Sudirman.
Beberapa negara yang tak memiliki kekayaan minyak pun memiliki perangkat penanggulangan krisis. Di Norwegia, dana DKE yang mereka himpun saat ini mencapai US$ 17 miliar. Itu belum termasuk dana Petroleum Fund yang nilainya mencapai US$ 836. Bahkan, Timor Leste, negara kecil yang belum lama membangun sektor energi, telah mengakumulasikan Petroleum Fund sampai US$ 17 miliar. "Kita perlu belajar dari pengalaman negara sahabat," ujar Sudirman.
RIKY FERDIANTO