TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Universitas Indonesia, Lana Soelistiyaningsih, menilai, rencana pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) mulai 5 Januari 2016 belum akan berdampak terhadap perekonomian Indonesia, selama belum ada kejelasan alokasi dana pungutan yang dibebankan.
“Itu justru membebani masyarakat,” katanya saat dihubungi Tempo, Ahad, 3 Januari 2015.
Penurunan harga BBM jenis premium menjadi Rp 7.150 dari harga semula Rp 7.300 per liter, menurut Lana, belum akan meningkatkan daya beli masyarakat. Sebab, dengan pungutan Rp 200 dari penurunan harga itu, masyarakat justru akan membayar lebih mahal Rp 50.
Sama halnya dengan penurunan harga solar, ia mengatakan tidak akan efektif jika Organisasi Angkutan Darat (Organda) tidak ikut menurunkan tarif angkutan. Penurunan harga solar berlaku dari Rp 6.700 menjadi Rp 5.950 per liter diikuti dana pungutan ketahanan energi Rp 300.
Lana menerangkan, masyarakat justru terbebani karena penurunan harga premium dan solar diikuti pungutan dengan total Rp 500. Ia mengatakan pemerintah dalam setahun bisa mengantongi dana sekitar Rp 60 triliun dari dana pungutan yang dibebankan. Kebijakan itu, ujar Lana, menjadi kontraproduktif. Menurut Lana, pungutan itu harus dialokasikan secara jelas, misalnya untuk pengembangan energi alternatif atau lainnya.
Lana menyebut pemerintah harus menyosialisasikan mengapa masyarakat harus membayar pungutan Rp 200 dan Rp 300 dari kenaikan harga BBM. Pungutan tersebut pun masih menjadi polemik.
Untuk itu, pemerintah harus menunggu saat yang tepat untuk memungut. Ia menilai, akan lebih tepat jika pungutan tersebut dilakukan setelah ada evaluasi perekonomian pada semester pertama. “Pungutan itu justru memukul balik penurunan harga BBM,” kata Lana.
DANANG FIRMANTO