TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance, Aviliani, mendukung niatan pemerintah mengganti energi fosil ke energi terbarukan. Karena itu dia setuju wacana dibentuknya badan layanan umum dana ketahanan energi sebagai sumber dana penelitian tersebut.
Avi, sapaan Aviliani, mengatakan pemerintah perlu melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan stakeholder terkait terhadap cita-cita tersebut. “Kata pungutan seolah-olah membuat masyarakat yang mensubsidi pemerintah,” ujarnya di Jakarta, Jakarta, Jumat, 1 Januari 2016.
Menurut dia, pemerintah seharusnya menggunakan jargon yang tak terkesan memalak masyarakat kecil. Padahal, di lapangan sendiri, masyarakat kelas bawah yang menerima subsidi bahan bakar minyak sendiri tak lebih dari 10 persen.
“Jadi pemerintah cukup menyampaikan mengambil sejumlah dana dari selisih cost dan harga pokok hasil penjualan,” katanya. Begitu pula komunikasi dengan PT Pertamina (Persero), yang akan sensitif jika pemerintah menggunakan kata margin penjualan sebagai jargon dana ketahanan energi.
Menurut dia, masalah yang tersisa dari dana ketahanan energi ini tinggal berupa dasar hukumnya saja. “Kalau semua mengerti, pungutan ini diperbesar pasti akan lebih bagus,” katanya.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam, dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinasi Perekonomian Montty Girianna mengatakan saat ini pemerintah sedang ngebut pembentukan DKE. “Basisnya bisa selesai (5 Januari mendatang), kalau pungutannya bisa tidak,” ujar Montty di kantornya.
Dia berujar jika pungutan telat ditetapkan, pemerintah tinggal menghitung dan memungutnya kemudian ketika landasan hukumnya sudah ditemukan. “Kami masih memilih mau pakai Undang-Undang Migas atau Energi,” katanya. “By law kita harus bikin peraturan pemerintah kalau Undang-Undang Energi (Nomor 30 Tahun 2007) jadi dipakai,” katanya.
ANDI RUSLI