TEMPO.CO, Jakarta - Dewan Energi Nasional mendukung penuh rencana pemerintah memungut dana dari masyarakat lewat dana ketahanan energi (DKE). Namun pungutan dana dari sektor hulu juga tidak boleh diabaikan. "Peluang memungut dana dari sektor hilir memang yang paling memungkinkan," ujar anggota DEN, Rinaldy Dalimi, Rabu, 30 Desember 2015.
Menurut Rinaldy, peluang sektor hilir tercipta karena harga minyak dunia sedang jatuh. Bahkan penurunan diprediksi hingga di bawah US$ 20 per barel pada tahun depan.
Pungutan DKE dari sektor hulu sebenarnya sudah diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pemerintah, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 27, bisa memungut premi pengurasan (depletion premium) bagi energi fosil, seperti minyak, gas, ataupun batu bara. Pungutan ini berbeda dari penarikan royalti dalam batu bara ataupun pembagian hasil dalam migas.
Secara teknis, Rinaldy, pungutan diberlakukan seperti CPO Fund untuk kelapa sawit. Pada setiap pengurasan minyak, gas, atau pun batu bara, premi dikenakan per barel ataupun ton.
Namun, menurut Rinaldy, kebijakan ini baru bisa diberlakukan jika harga migas ataupun batu bara melonjak seperti 2011. Saat ini, investasi hulu energi seret sehingga pembebanan pungutan justru bakal merusak investasi.
Karena itu, DEN minta pemerintah membuat ambang batas pungutan BBM. Menurut anggota DEN, Syamsir Abduh, batas ini diperlukan untuk menakar sampai sejauh mana masyarakat sebagai konsumen akhir berkontribusi pada pengembangan energi.
Ambang batas juga berguna untuk menyesuaikan rasio pungutan sektor hulu dan hilir. Ilustrasinya, jika harga minyak melonjak, DKE sektor hilir harus dikurangi bahkan dihapus. Sebagai gantinya, suplai dana bakal dipasok dari sektor hulu karena harga tinggi membuat investasi bergairah. "Itu berguna tidak hanya untuk jangka pendek tetapi juga jangka panjang," Syamsir berujar.
ROBBY IRFANY