TEMPO.CO, Jakarta - Kalangan pengusaha hasil hutan dan industri kertas meminta pemerintah memberikan kepastian hukum terkait dengan sanksi administratif terhadap sejumlah perusahaan pascakebakaran hutan medio Juli-Oktober lalu. Alasannya, dengan sanksi itu, banyak perusahaan tak bisa beroperasi dan memanfaatkan lahan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) yang mereka kuasai.
Industri kertas selama ini sangat bergantung pada kayu hasil hutan industri. Jika bahan baku tidak ada, otomatis keberlangsungan industri kertas nasional terancam. "Soalnya pasokan bahan baku bubur kertas (pulp) bakal berkurang hingga 48 persen atau sekitar 3 juta ton," kata Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Purwadi Soeprihanto di Kantor Kementerian Perindustrian, Selasa, 22 Desember 2015.
Tahun ini saja, kata Purwadi, pasokan bahan baku kayu dari hutan tanaman industri pada triwulan III 2015 turun 29 persen menjadi 6,56 juta meter kubik dari 9,26 juta meter kubik pada triwulan II. "Akibatnya, produksi kertas bisa berkurang setengahnya."
Menurut Purwadi, saat ini ada 9 perusahaan produsen pulp yang dibekukan karena dituduh melakukan pembakaran hutan. Secara total, kesembilan perusahaan itu mengelola lahan seluas 901,189 hektare. "Mereka terancam tak bisa berproduksi lagi tahun depan dan harus merumahkan 40 ribu karyawan."
Padahal, Purwadi menjelaskan, tidak semua lahan yang dibekukan itu terbakar. "Lagipula, kebanyakan kebakaran itu justru bermula dari lahan di luar konsesi mereka." Berdasarkan data mereka, kebakaran hutan kemarin mayoritas (56 persen) terjadi di hutan milik negara (open access), 20 persen di perkebunan sawit, 16 persen di hutan pulpwood, dan 8 persen di hutan produksi.
Ini, kata dia, menggambarkan tidak semua perusahaan pulp melakukan pembakaran. "Lagipula kayu itu kan bahan baku pulp, masak dibakar," ujarnya. Dia menyayangkan sanksi terhadap perusahaan dijatuhkan rata. "Seharusnya lahan yang tak terbakar tetap boleh digarap."
Kekhawatiran ini juga dirasakan Direktur Eksekutif Asosiasi Pulp & Kertas Indonesia (APKI) Liana Bratasida. Menurut dia, bukan cuma mengancam industri yang sudah ada, melainkan investasi industri pulp and paper di Indonesia juga bakal terganggu. "Masalahnya tidak ada kepastian hukum buat kami." Dia berharap pemerintah memberikan batas waktu yang jelas terkait dengan pembekuan izin ini. "Seharusnya lahan nongambut yg terbakar tetap bisa digarap supaya pasokan terjamin."
Liana juga mempersoalkan penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 97 Tahun 2015 tentang impor produk hasil hutan. Aturan ini, kata dia, bakal menghambat dan memperumit impor pulp serat panjang yang digunakan untuk produksi kertas.
"Indonesia tidak punya tanaman penghasil pulp serat panjang, kita masih impor 100 persen." Menurut aturan itu, importir harus menyertakan aneka sertifikasi terkait dengan produk pulp yang diimpor. "Padahal di negara-negara Eropa dan Kanada, sertifikasi itu tidak diperlukan."
Ancaman berkurangnya pasokan pulp ini mengancam target pemerintah yang ingin industri pulp dan kertas tumbuh 3-4 persen tahun depan. Bahkan, pabrik baru OKI Pulp and Paper di Ogan Komering Ilir yang diproyeksikan mulai beroperasi tahun depan juga terancam kekurangan pasokan. "Banyak perusahaan pemasok pulp untuk OKI izinnya masih dibekukan," kata Direktur Jenderal Hasil Hutan dan Perkebunan Kementerian Perindustrian Pranata.
Kami, kata Pranata, akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk membahas masalah ini. "Nanti dicarikan jalan keluarnya karena industri pulp and paper ini kan sudah masuk daftar industri unggulan, seharusnya tidak dijegal."
PRAGA UTAMA