TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Umum Bidang Kelautan dan Perikanan Kamar Dagang dan Industri Yugi Prayanto mengatakan, di tengah kelesuan ekonomi, udang merupakan salah satu komoditas yang permintaannya masih tinggi. Apalagi saat ini komoditas ikan tangkap masih lesu akibat adanya moratorium.
"Secara komposisi, udang bisa sampai 40 persen untuk kontribusi ekspornya," katanya di Jakarta, Selasa, 22 Desember 2015.
Komposisi ini lebih tinggi dibanding komoditas lain, seperti tuna dan rumput laut. Hal ini ditambah adanya moratorium oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menyebabkan kondisi perikanan tangkap masih lesu.
Yugi mengatakan, dibanding dari negara lain, permintaan ekspor udang dari Indonesia masih tinggi. Hal ini terjadi karena kualitas udang Indonesia masih diminati mancanegara.
Menurut Yugi, sebenarnya ada negara lain yang juga mengekspor udang, seperti India dan Vietnam. Namun, menurut dia, ada ketidakpercayaan pasar terhadap udang dari negara tersebut akibat isu penggunaan antibiotik pada udang di India dan virus yang menyebar pada udang Vietnam.
Selain kebutuhan untuk ekspor, udang sangat diminati industri pengolahan makanan di dalam negeri. Banyak perusahaan dalam negeri memerlukan udang sebagai bahan baku makanan olahannya.
Hal ini, ujar dia, menyebabkan adanya daya saing pembelian udang antara perusahaan olahan dan untuk kebutuhan ekspor. Tak jarang, akhirnya pengusaha olahan udang berani membayar mahal agar kebutuhan perusahaan terpenuhi. "Jadi demand udang memang masih tinggi," tuturnya.
Saat ini, berdasarkan data Perhimpunan Petambak Plasma Udang Windu, harga udang mencapai Rp 70 ribu per kilogram untuk ukuran 60. Harga tertinggi untuk udang sempat mencapai Rp 88 ribu pada 2012.
MAWARDAH NUR HANIFIYANI