TEMPO.CO, Mataram - Nilai tukar petani (NTP) atau daya beli dibanding pendapatan petani Nusa Tenggara Barat pada November 2015 mencapai 106,43 atau meningkat 0,44 persen dibanding Oktober 2015, yakni 105,97.
Dari NTP di 33 provinsi yang dilaporkan pada November 2015, terdapat 22 provinsi yang mengalami peningkatan NTP dan 11 provinsi mengalami penurunan NTP. Peningkatan tertinggi terjadi di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu sebesar 1,75 persen, di mana indeks harga yang diterima meningkat hingga 2,19 persen. Sedangkan penurunan NTP terbesar terjadi di Provinsi Bangka Belitung, yaitu sebesar 0,75 persen, di mana indeks yang diterima petani menurun sebesar 0,88 persen.
Kepala Badan Pusat Statistik NTB Wahyudin juga mengemukakan bahwa penghitungan NTP menggunakan tahun dasar 2012=100. “Tertinggi NTP peternak,” katanya. Tercatat NTP Petani Peternakan (NTPT) 117,12; Petani Padi & Palawija sebesar 108,07; NTP Perikanan 101,46. NTP Perikanan diperinci menjadi NTP Perikanan Tangkap (NTN) tercatat 106,70 dan NTP Perikanan Budi Daya (NTPi) tercatat 92,95. NTP Hortikultura 94,30; NTP Tanaman Perkebunan Rakyat 95,98.
NTP bulan November 2015 mengalami peningkatan sebesar 0,44 persen bila dibandingkan dengan NTP Oktober 2015, yaitu dari 105,97 menjadi 106,43. Hal ini disebabkan karena tingkat peningkatan indeks harga yang diterima petani sebesar 0,77 persen lebih tinggi dari tingkat peningkatan indeks harga yang dibayar petani, yaitu sebesar 0,34 persen. “Di samping itu, indeks konsumsi rumah tangga dan indeks BPPBM juga mengalami peningkatan,” katanya. Masing-masing sebesar 0,44 persen dan 0,05 persen.
Berdasarkan hasil pemantauan harga-harga perdesaan pada 8 kabupaten di Provinsi NTB, terjadi NTP yang berfluktuasi setiap bulannya. Pada November 2015 dengan tahun dasar (2012=100), NTP Provinsi NTB berada di atas 100 (tercatat 106,43). Ini berarti petani mengalami peningkatan daya beli karena kenaikan harga produksi relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan harga input produksi dan kebutuhan konsumsi rumah tangganya.
Pada November 2015 kemampuan daya beli petani di Provinsi NTB pada 3 subsektor berada di atas 100 (cukup baik), yang terdiri atas subsektor Peternakan (117,12), subsektor Tanaman Pangan (108,07), dan subsektor Perikanan (101,46). Sedangkan subsektor lainnya memiliki kemampuan daya beli yang rendah atau NTP di bawah 100, yaitu subsektor Hortikultura sebesar 94,30 dan subsektor Perkebunan Rakyat sebesar 95,98.
Indeks harga yang diterima petani menunjukkan fluktuasi harga komoditas pertanian yang dihasilkan petani. Pada November 2015 dengan tahun dasar (2012=100), gabungan indeks harga yang diterima petani Provinsi NTB mengalami peningkatan sebesar 0,77 persen, yaitu dari 124,82 menjadi 125,78.
Terdapat 2 subsektor yang mengalami peningkatan indeks harga, yaitu subsektor Tanaman Pangan (2,57 persen) dan Hortikultura (0,18 persen). Sedangkan 3 subsektor lainnya mengalami penurunan indeks harga yang diterima, masing-masing subsektor Perkebunan Rakyat (1,24 persen), Peternakan (0,51 persen), dan Perikanan (0,46 persen).
Adapun nilai tukar usaha pertanian Provinsi NTB yang diperoleh dari hasil bagi antara indeks yang diterima petani dan indeks biaya produksi serta penambahan barang modal (BPPBM), pada November 2015 tercatat 111,61 yang berarti mengalami peningkatan 0,72 persen dibandingkan bulan Oktober dengan Nilai Tukar Usaha Pertanian 110,81.
Pada November 2015, terjadi inflasi di daerah perdesaan di Provinsi NTB sebesar 0,44 persen. Inflasi disebabkan oleh terjadinya peningkatan indeks konsumsi rumah tangga pada 6 kelompok pengeluaran, yaitu kelompok Bahan Makanan (0,59 persen), Makanan Jadi, Minuman, Rokok & Tembakau (0,55 persen), Pendidikan, Rekreasi & Olahraga (0,43 persen), Perumahan (0,26 persen), Transportasi & Komunikasi (0,16 persen), dan Kesehatan (0,08 persen). Sedangkan kelompok Sandang mengalami penurunan indeks sebesar 0,06 persen.
Adapun warga perdesaan NTB yang memilih bekerja di luar negeri, disebutkan oleh Wahyudin, memberikan hasil pendapatan kepada keluarga di kampungnya selama 10 bulan pada tahun 2015 sebesar Rp 1,3 triliun.
Terbanyak diperoleh dari yang dikirimkan oleh mereka yang bekerja di Saudi Arabia sebesar 47,93 persen, Malaysia (4,94 persen), Uni Emirat Arab (4,24), Hongkong (1,2) dan Kuwait (1,01). Masih terdapat puluhan negara lainnya tempat para warga bekerja di luar negeri, dari Brunei Darussalam, Singapura, Filipina, Korea Selatan, Jepang sampai Yordania dan Qatar.
SUPRIYANTHO KHAFID