TEMPO.CO, Jakarta - Perusahaan transportasi konvensional adalah salah satu kelompok yang menolak keberadaan layanan transportasi umum berbasis aplikasi Internet, seperti Go-Jek, Uber, dan Grabtaxi. Pasalnya, mereka menganggap keberadaan transportasi online itu menjadi penyebab utama merosotnya bisnis mereka, Sabtu, 19 Desember 2015.
Direktur Utama Express Group Daniel Podiman mengatakan perusahaannya dirugikan lantaran perlakuan yang tidak adil antara taksi konvensional dan layanan transportasi online. "Mereka tidak berbadan hukum dan tidak membayar retribusi. Tidak adil dong dengan kami yang sebaliknya," ujar Daniel saat dihubungi Tempo kemarin.
Lebih jauh, taksi online membuat persaingan tidak sehat karena mengenakan tarif di bawah ketentuan. Akibatnya masyarakat lebih memilih memakai jasa taksi online dan berdampak buruk terhadap pendapatan perusahaan. "Mereka membuat tarif sendiri yang lebih murah, sedangkan kami harus mengikuti tarif Organda (Organisasi Angkutan Darat)," ujarnya.
Pada kuartal III 2015, PT Express Transindo Utama Tbk (TAXI) melaporkan penurunan laba bersih 90 persen, dari kuartal III 2014 sebesar Rp 109 miliar menjadi hanya Rp 11 miliar. Penurunan ini dipengaruhi laba usaha yang turun 25 persen menjadi Rp 161 miliar dan beban bunga yang naik 53,6 persen menjadi Rp 149 miliar.
Juru bicara Blue Bird Group, Teguh Wijayanto, mengungkapkan hal serupa. Dia menuturkan selama taksi online masih beroperasi, diskriminasi terhadap taksi konvensional akan berlanjut. "Nanti semua jadi penyelenggara. Padahal izinnya tidak ada. Ini kan diskriminatif," ujarnya. Karena itu, Teguh berharap taksi online dilarang beroperasi supaya tercipta iklim persaingan usaha yang sehat. Namun, dalam hal kinerja keuangan Blue Bird masih lebih baik daripada Express.
Analis dari PT First Asia Capital, David Sutyanto, mengatakan besarnya ancaman bisnis transportasi online terhadap perusahaan taksi konvensional tergantung pada kebijakan pemerintah. Jika pemerintah tidak membuat peraturan dan membebaskan bisnis transportasi online, perusahaan transportasi konvensional bakal sulit bertahan. "Yang modalnya kuat seperti Blue Bird masih oke, tapi yang modalnya cekak sulit,” katanya.
DEVY ERNIS | MAYA AYU PUSPITASARI