TEMPO.CO, Jakarta - Asosiasi Migas Indonesia (Indonesia Petroleum Association/IPA) menyatakan persoalan molornya pengembangan Blok Masela menjadi sentimen negatif bagi investasi migas Tanah Air. Keadaan ini diperparah dengan anjloknya harga minyak dunia sejak akhir tahun lalu.
"Saya tidak ingin berkomentar soal proyek secara spesifik karena itu urusan perusahaan masing-masing. Namun yang jelas keputusan Menteri ESDM terkait dengan Blok tersebut membuat investasi migas menjadi tidak positif," ujar Direktur IPA Sammy Hamzah saat dihubungi, Rabu, 16 Desember 2015.
Sammy sebelumnya berujar cadangan migas potensial di Indonesia saat ini terpendam pada area laut dalam di Indonesia bagian timur. Pengembangan proyek area tersebut membutuhkan teknologi ekstra tinggi, selain berbiaya mahal dan amat berisiko.
Sulitnya eksplorasi migas di area tersebut membuat investasi tidak berjalan mulus. Satu-satunya cadangan yang sudah terbukti adalah gas Blok Masela sebesar 10,73 triliun kaki kubik (TCF). Cadangan yang diteliti Lemigas ini sekaligus membuktikan Blok Masela adalah salah satu blok dengan potensi gas alam cair terbesar.
Blok Masela juga diketahui sebagai cadangan migas yang terakhir ditemukan sejak 15 tahun lalu. Kini Indonesia berhadapan dengan krisis sumber daya migas dengan rasio pengembalian cadangan sekitar 0,5.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) memprediksi jika produksi blok tidak segera dilakukan, akan berakibat pada permintaan gas. Sebab, di area terdekat, terdapat pengembangan LNG lain, yakni Lapangan Gorgon, Itchis, dan Prelude di Australia bagian Utara. Karena proyek itu, permintaan LNG dari pasar luar negeri ke Blok Masela terancam sepi sehingga risiko kehilangan pendapatan negara menjadi lebih besar.
"Market-nya akan kalah dengan blok dari Australia itu," ucap Kepala SKK Migas Amien Sunaryadi.
Seperti diketahui, dalam revisi rencana pengembangan (plan of development/PoD), Inpex Masela Ltd selaku pengelola menargetkan produksi gas dimulai pada 2024. Guna pemenuhan itu, persiapan berupa pembuatan kapal FLNG, penyusunan sistem produksi bawah laut, dan aktivitas lainnya harus segera dimulai.
Sampai saat ini, nasib pengembangan Blok Masela masih tertahan verifikasi konsultan internasional, yakni Poten and Partners yang ditunjuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Targetnya, verifikasi rampung pada 23 Desember mendatang.
Isu krusial yang diverifikasi adalah pilihan fasilitas kilang LNG terapung (Floating LNG/FLNG) dan darat. SKK Migas, berdasarkan hasil verifikasinya, menyatakan aspek teknis dan ekonomis FLNG sudah sesuai.
Namun hasil kajian tersebut ditolak Kementerian Koordinator Kemaritiman. Menko Kemaritiman Rizal Ramli mengatakan kilang di darat (on shore) lebih murah dan menghasilkan efek berganda terhadap perekonomian daerah sekitar.
Inpex berharap verifikasi konsultan independen tepat pada waktunya. Senior Manager Communication and Relation Inpex Usman Slamet mengatakan, jika verifikasi selesai dan rencana pengembangan disetujui, tahap selanjutnya adalah penyusunan Front End Engineering Design(FEED). Inpex menargetkan produksi gas dimulai pada 2024.
"Kami sudah bekerja terlalu lama dan menghabiskan banyak biaya untuk rencana ini," kata Usman saat bertandang ke kantor Tempo, Selasa lalu.
ROBBY IRFANY