TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom CRECO Research Institute Raden Pardede menilai penyerapan dana desa dari Kementerian Keuangan sejauh ini belum efektif dan efisien. Hingga Agustus 2015 sudah terkumpul sekitar Rp 280 triliun yang dialokasikan ke desa. Namun desa tidak bisa menyerap anggaran dengan baik.
Raden menyayangkan daerah tidak bisa membelanjakan dengan efektif dan efisien. "Kalau itu dibelanjakan saja, akan menggerakkan ekonomi di daerah," katanya di Jakarta, Selasa, 15 Desember 2015.
Menurut Raden, pemerintah seharusnya membangun sebuah bank infrastruktur untuk menampung dana desa yang tidak terserap. Bank infrastruktur itu bisa menerbitkan surat utang.
Pemilik bank infrastruktur itu, ujar Raden, adalah daerah-daerah yang nantinya harus diatur persentase pembagian keuntungan dari surat utang yang diterbitkan. "Tentunya sesuai dengan besarnya kontribusi masing-masing daerah."
Raden berujar, dana tersebut bisa dimanfaatkan untuk investasi sektor infrastruktur, bisa di luar daerah dan provinsi. Pembangunan bank tersebut nantinya berdampak besar bagi daerah melalui keuntungan dari kepemilikan saham. Masalah utamanya adalah dananya ada tapi tidak digunakan secara lebih efektif dan efisien. "Daripada Rp 280 triliun tidur-tidur di BPD kan sayang," katanya.
Menurut Raden, daerah harus bisa merencanakan pemanfaatan daerah dengan baik. Sebagian besar daerah yang tidak bisa menggunakan dana desa secara efektif dan efisien akan meletakkan uang tersebut ke BPD sebagai sisa anggaran, dan itu sudah berjalan bertahun-tahun.
DANANG FIRMANTO