TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ramson Siagian, mengatakan seharusnya pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium.
"Saya meminta Pertamina dan Menteri ESDM menurunkan harga premium menjadi Rp 6.500 per liter. Saya siap berdebat dengan Menteri ESDM," katanya dalam diskusi "Energi Kita" di hall gedung Dewan Pers, Minggu, 13 Desember 2015.
Anggota Komisi Energi ini menjelaskan alasan mengapa harga premium harus turun. Menurut dia, dengan harga minyak mentah sekitar US$ 30 per barel di pasar global, ekuivalennya sekitar Rp 3250 dengan kurs Rp 14 ribu per US dolar.
Biaya-biaya, seperti biaya angkut, biaya distribusi, biaya pengolahan, keuntungan SPBU, pajak, dan keuntungan Pertamina, menurut Ramson, kalau ditotal seratus persen, hanya Rp 6.500 per liter premium. "Rp 5.220 sudah untung, apalagi Rp 7.400 (sekarang), mau dinaikkan apalagi?" Ujar Ramson.
Ia melanjutkan, sesuai dengan peraturan menteri, tiap tiga bulan, harga BBM harus disesuaikan dengan perubahan harga minyak mentah. "Jadi kalau memang harganya harus turun, waktunya sekarang harus turun supaya rakyat bisa merasakannya," ujarnya. Sekarang,tuturnya, rakyat sudah tidak disubsidi soal premium.
Ferdinand Hutahaean, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia, mengatakan pemerintah tidak konsisten dengan regulasi sendiri. Ia bertanya-tanya usulan kenaikan harga BBM di saat harga minyak dunia turun. "Apakah untuk menutupi kerugian Pertamina selama ini?" ucapnya.
Ia mengatakan, jika Pertamina mengklaim rugi, harus diteliti rugi di sektor mana. "Dari jual-beli BBM atau dari sektor lain? Kalau dari penjualan BBM, tidak mungkin rugi," ujarnya. "Karena bisnis Pertamina banyak sekali, di sisi mana yang rugi?" Ia mengatakan mungkin ada sektor lain yang membuat Pertamina rugi. Misalnya, pada komponen biaya produksi.
REZKI ALVIONITASARI